Source : Mengakubackpacker
Seorang gadis bernama Kana
tinggal bersama orang tua dan neneknya. Neneknya semula adalah wanita
tua yang baik hati. Namun beberapa tahun terakhir, ia hanya menghabiskan
sebagian besar waktunya di atas tempat tidur dan menjadi eksentrik. Ia
tak hanya menjadi manja dan sering mengeluh pada ibu Kana yang selalu
merawatnya, namun juga sering mengatakan hal-hal yang membuat orang lain
depresi.
“Kamu hanya menungguku untuk mati!” ia selalu
mengulanginya terus-menerus. Mencoba untuk menenangkannya jutsru hanya
membuatnya bertambah yakin pada pendapatnya. Akhirnya ibu Kana menjadi
muak dan mulai berhenti mengurusnya. Wanita tua itu menjadi kurang
mendapat perhatian dan kualitas makanan yang ia dapatkan pun menurun
drastis. Kesehatannya pun menurun dan akhirnya ia tak lagi mampu
bergerak maupun berbicara. Ia tak pernah lagi bangkit dari tempat
tidurnya dan jelas bahwa hidupnya takkan lama lagi.
Kisah ini
berawal dari pengalaman aneh yang dialami Kana suatu malam. Suatu malam
saat sedang tertidur, ia terbangun karena suara klakson mobil yang
menggema di luar rumahnya. Ia mencoba untuk mengabaikannya dan kembali
tidur, namun suara klakson itu justru bertambah keras. Kana menjadi
kesal dan memutuskan untuk bangun dan menengok keluar jendela.
Kana
membeku ketakutan begitu melihat mobil yang terus-menerus membunyikan
klaksonnya itu. Itu adalah sebuah mobil jenazah. Dan mobil itu berhenti
tepat di depan rumahnya. Kana tak bisa memastikan apakah ada orang di
dalam mobil itu, namun tampaknya mesin mobil itu tak menyala. Saat Kana
memperhatikan mobil itu, tiba-tiba saja bunyi klakson itu berhenti.
Seolah-olah siapapun yang berada di dalam mobil itu tahu Kana tengah
memperhatikannya.
Atau mungkin tujuan mobil itu terus menyalakan
klakson agar Kana menengok keluar? Kana menjadi takut dan segera berlari
ke atas tempat tidurnya kembali. Ia menutup selimutnya hingga ke atas
kepalanya dan menunggu pagi datang. Sepanjang malam itu ia lalui dengan
suasana sunyi. Pagi harinya, Kana bertanya kepada keuda orang tuanya
apakah mereka mendengar klakson mobil jenazah di luar rumah mereka tadi
malam. Namun mereka berdua ternyata tak mendengar apapun. Tak mungkin
mereka tak mendengarnya, pikir Kana. Suara klakson itu keras sekali,
cukup untuk membangunkan tetangga-tetangga mereka. Namun orang tua Kana
sepertinya tak punya alasan untuk berbohong. Lagipula, tetangga-tetangga
mereka juga seharusnya mendengar suara itu juga. Namun tak ada
seorangpun yang mengeluh.
Hanya ada satu alasan yang masuk akal.
Mobil jenazah itu datang untuk menjemput neneknya. Kana lalu mengintip
ke kamar neneknya. Neneknya hanya terbaring saja di tempat tidur seperti
biasa.
Mobil jenazah itu kembali malam berikutnya dan malam-malam
selanjutnya. Kana mencoba mengabaikannya, namun suara klakson yang
terus-menerus terdengar itu membuatnya tak bisa tidur. Anehnya, seperti
malam yang lalu, klakson itu hanya berhenti bersuara jika Kana
menatapnya dari jendela.
Pada hari ketujuh semenjak kehadiran
mobil jenazah itu, orang tua Kana pergi untuk mengunjungi kerabat
mereka. Kana ingin ikut dengan mereka, namun seseorang harus tinggal di
rumah untuk menjaga neneknya.
Kana takut, tapi ia tak punya
pilihan lain. Ia ingin memberitahukan orang tuanya mengapa ia begitu
ketakutan, namun ia tahu mereka takkan percaya kepadanya. Rasa takutnya
terhadap mobil jenazah itu sudah tak terbendung lagi, dan kini ia
sendiri. Malam itu Kana mencoba menghibur dirinya dengan menyalakan
televisi. Orang tuanya berjanji akan kembali keesokan harinya. Kana
mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya harus melewati malam ini saja
dan setelah itu semuanya akan baik-baik saja.
Jarum jam
menunjukkan jam 9. Tiga jam lagi menuju tengah malam. Waktu kedatangan
mobil jenazah itu makin mendekat. Kana menunggu telepon dari orang
tuanya. Mereka berjanji akan meneleponnya malam itu untuk mengecek
keadaannya, namun telepon itu tak kunjung datang. Akhirnya Kana
tertidur.
Ia terbangun ketika mendengar klakson mobil jenazah itu.
Kali ini suaranya tepat berasal dari depan rumahnya. Dengan ketakutan,
Kana menengok melalui jendela ruang tamu. Seusai dugaannya, mobil
jenazah itu terparkir di depan rumahnya. Namun kali ini sesuatu yang
berbeda yang membuat Kana menggigil ketakutan. Biasanya mobil itu selalu
tampak kosong. Namun kali ini ada beberapa orang berpakaian hiam-hitam
keluar dari mobil itu. Ia menatap dengan ketakutan ketika orang-orang
itu mendekati gerbang rumahnya. Apa mereka hendak masuk ke sini? Kana
mulai panik. Bel pintu rumahnya berdering dengan keras di tengah
kesunyian rumah itu. Siapapun yang berada di depan itu menekan bel
dengan keras dan tanpa henti, seolah-olah mereka bersikeras ingin masuk.
Deringan
bel itu akhirnya berhenti, berganti dengan suara ketukan halus di
pintu. Namun suara ketukan yang awalnya pelan itu berubah menjadi sangat
keras hingga seolah-olah mereka hendak mendobrak pintu tersebut. Tubuh
Kana terpaku karena rasa takut. Kana mulai berpikir, bagaimana jika
pintu depan belum dikunci? Sudahkah ia menguncinya? Kana tak bisa
mengingatnya. Mungkin saja belum. Jika itu benar, maka yang perlu mereka
lakukan untuk masuk hanyalah memutar pegangan pintu. Kana berusaha
mengalahkan rasa takutnya dan berlari ke arah pintu. Namun sebelum
tangannya menyentuh pegangan pintu, telepon di rumahnya berdering. Apa
itu dari ayah dan ibu, pikir Kana, syukurlah.
“Hallo! Hallo!” ia
segera mengangkat teleponnya, berharap orang tuanya bisa segera pulang
untuk menolongnya. “Apa ini kediaman keluarga Murata?” ternyata suara
itu adalah suara pria yang tak pernah dikenalnya. Sesuatu mengenai nada
suaranya mebuat Kana lebih ketakutan. “Saya polisi, maaf tapi saya harus
memberitahukan berita ini kepada anda. Anda putri keluarga Murata
bukan? Orang tua anda terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas sore ini.
Saya sangat berduka cita ...” Kana tak mampu mengucapkan sepatah
katapun. Anehnya, siapapun yang sejak tadi menggedor-gedor pintu depan
akhirnya berhenti. Pikirannya segera memburu. Apakah mobil jenazah itu
bukan ingin menjemput neneknya, melainkan orang tuanya? Namun mengapa
mereka ada di sini? Orang tuanya tidak meninggal di sini.Tiba-tiba Kana
merasakan tepukan di pundaknya. Dengan gemetar Kana menoleh dan melihat
wajah pucat neneknya, yang seharusnya terbaring lumpuh di atas tempat
tidur. “Ayo,” ia berbisik di telinga Kana, “kau ikut juga ...”
Azazel~