Sabtu, 21 Maret 2015

Asal Mula Kanjeng Kyai Plered (Oleh: Prabuningrat)

Kala itu, kejayaan Majapahit pun mulai berangsur redup. Nun … di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang dan damai, di pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yakni Raden Sahid dan Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap. Setelah keduanya menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung pun berkata; “Sahid, sekarang engkau sudah dewasa. Mulai sekarang, engkau harus bersiap-siap untuk menggantikan bila aku sudah tak mampu lagi melaksanakannya.” “Sebelumnya, aku dan ibumu berharap agar engkau segera menikah. Katakanlah, gadis mana yang selama ini telah menjadi tambatan hatimu. Nanti aku yang akan melamarkan untukmu,” imbuhnya. Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim dan kepala menunduk sebagai tanda hormat kepada orang tua, hanya diam membisu. Hatinya benar-benar galau. Betapa tidak, sejatinya, di dalam hati ia menolak untuk segera menikah. Tapi apa daya, jika menolak, ia takut membuat kedua orang tuanya kecewa. Padahal dalam hati yang sangat dalam, beliau menggerutu, belum siap memikirkan tentang arti sebuah mahligai rumah tangga. Di tengah-tengah suasana yang mencekam itu, mendadak terdengar suara Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian; “Mengapa engkau diam Sahid?” “Apakah engkau menolak permintaanku?” Sambungnya cepat. “Ampun … ayahanda,” sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata, “tak ada maksud hamba untuk menolaknya.” “Tetapi mengapa engkau diam dan tidak segera menjawab,” potong sang ayah dengan cepat. “Ampun … ayahanda,” jawab Raden sahid dengan santun, “sampai saat ini, hamba masih menimbang-nimbang, wanita mana yang tepat untuk menjadi menantu ayahanda.” Tumenggung Wilwatikta pun menarik napas lega, “Baiklah kalau begitu. Pertimbangkan dengan masak-masak, dan hati-hati dalam menentukan jodohmu.” Karena dianggap cukup, maka, Raden Sahid pun diperkenankan untuk undur diri. Dan kepada Dewi Rasa Wulan, sang ayah hanya berpesan agar dirinya bersiap-siap untuk menerima pinangan dari pemuda yang sudah ditetapkan kedua orang tuanya. Tanpa berani membantah, Rasa Wulan pun hanya diam … lalu, ia pun undur diri dari hadapan ayahandanya. Tidak seperti biasanya, keceriaan yang biasa diperlihatkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Hingga malam menjelang, Raden Sahid masih disungkupi kegelisahan. Bahkan, matanya pun tak bisa dipejamkan walau malam terus merangkak. Hatinya teramat sedih … “Untuk menghindar dari paksaan ayah, kiranya aku harus pergi dari sini,” demikian bisik hatinya. Dan benar, seiring dengan malam yang terus merangkak dan seisi katumenggungan sedang terbuai dalam mimpi indahnya masing-masing, diam-diam Raden Sahid pun ke luar dari kamarnya dan pergi …. Paginya, tatkala Dewi Rasa Wulan mengetahui bahwa kakaknya tak ada di kamarnya, sontak, hatinya pun khawatir. Dengan harap-harap cemas ia pun mencari sang kakak di berbagai penjuru katumenggungan. Tapi apa daya, sang kakak seolah lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan pun yakin, sang kakak telah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa meminta izin pada kedua orang tuanya. “Mengapa Kangmas Sahid tidak mengajakku,” bisik hati Rasa Wulan, “padahal aku juga bermaksud pergi agar terhindar dari paksaan ayah.” Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan pun masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan langsung menyusul kakaknya. Waktu terus berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan heboh. Mereka baru sadar jika Raden Sahid dan Rasa Wulan telah pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta pun terkejut. Dengan cepat ia memerintahkan seluruh telik sandi katumenggungan untuk menelisik keberadaan kedua anaknya itu. Tapi apa daya, keduanya seolah lenyap ditelan bumi. Hari bergangti minggu dan minggu berganti bulan bahkan bulan bergantiu tahun, tapi, keberadaan keduanya tetap saja tidak terendus. Berbilang waktu, dalam pengembaraannya, Raden Sahid mengalami pahit dan getirnya penderitaan serta menghadapi berbagai macam cobaan hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai sosok waliyullah yang sangat masyhur, Khanjeng Sunan Kalijaga — lewat bimbingan seorang Waliyulloh A’dzom Sunan Bonang, yang diteruskan kepada Sunan Gunung Jati, sampai pada akhirnya mendapat derajat kewalian secara sempurna lewat talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga akhirnya beliau diambil mantu dan dijadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon. Tak jauh berbeda dengan sang kakak, di dalam pengembaraannya, setelah berbilang tahun tidak juga berhasil menemukan Raden Sahid, akhirnya, Dewi Rasa Wulan pun bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk memakan makanan yang biasa dimakan oleh kijang-Jw) di tengah hutan Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat). Di dalam hutan nan lebat dan angker itu terdapat sebuah danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok dan menaungi permukaannya. Dan tak ada yang menyangka jika pada salah satu cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu terdapat seseorang yang sedang bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon-Jw). Ya … sosok linuwih itu tak lain adalah Syekh Maulana Mahgribi. Waktu terus berlalu. Dan pada suatu nan terik, Rasa Wulan pun mendatangi Sendhang Beji. Ia berniat ingin mandi, untuk menyegarkan badannya. Ia sama sekali tak tahu jika di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa — dan tanpa malu-malu Rasa Wulan pun membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, dengan perlahan-lahan ia berjalan menghampiri danau dan mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau membuat tubuhnya jadi terasa sangat nyaman. Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas danau memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan dan kesintalan tubuhnya, sontak, birahi Syekh Maulana Mahgribi pun bangkit hingga meneteskan bibit hidup (sperma-Jw) dan jatuh tepat diatas tempat Rasa Wulan mandi. Karena peristiwa itu, maka, Rasa Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa Wulan pun tahu jika laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya. “Mengapa engkau tega berbuat demikian?” Protes Rasa Wulan sambil menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?” Syekh Maulana Mahgribi hanya diam. Ia seakan tidak mendengar apa-apa. “Karena telah berbuat, maka, engkau harus bertanggung jawab!” Sergah Rasa Wulan semakin sengit. “Mengapa engkau menuduhku?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi dengan sabar. “Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa Wulan. “Engkau yakin jika aku yang menghamilimu?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi meminta ketegasan. “Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa Wulan tegas. “Karena di tempat ini tidak ada laki-laki lain, maka, engkaulah yang kutuduh menghamiliku,” imbuhnya dengan berapi-api. Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Mahgribi pun langsung mencabut kemaluannya — kemudian menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa ia tidak memiliki kemaluan. Syekh Maulana Mahgribi pun berujar, “Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi mana mungkin aku menghamilimu.” “Bagaimana pun juga aku tetap menuduhmu yang menghamiliku” kata Rasa Wulan, “karena itu, engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang tengah kukandung ini.” “Aku yang harus bertanggung jawab?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi. “Ya. Engkau yang harus bertanggung jawab,” sahut Rasa Wulan, “mengasuh dan memeliharanya kelak setelah lahir.” Syekh Maulana Mahgribi tidak dapat mengelak. Dan pada waktunya, setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, maka, si jabang bayi pun yang diberi nama Kidang Telangkas pun diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kelak dikemudian hari, secara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas menjadi raja di tanah Jawa. Kembali ke perdebatan sengit antara Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, saat itu, ternyata kemaluannya yang dicabut berubah wujud menjadi sebilah mata tombak — yang akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) dari raja-raja Jawa. Dan tombak itu dinamakan Khanjeng Kyai Plered. Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu merupakan salah satu dari senjata pusaka Keraton Yogyakarta. Namun dalam perdebatan lain, tombak Khanjeng Plered, yang asli telah raib dan dimiliki oleh seorang Waliyulloh Kamil, yang turun temurun selalu dijaga dan dirawat secara baik, sebab hal semacam ini sudah menjadi ilmu Waris bagi ahli generasi sesama Waliyulloh “Di mana hak yang terlahir dari seorang waliyulloh, maka, akan kembali kepada hak sederajat lainnya” Juga seperti maqolahnya Rosululloh SAW: “Sesungguhnya hak warisku akan terpenuhi oleh keturunanku kelak, dan tiada kuberikan pengganti kecuali yang memahamiku, maka sambutlah pemberianku hingga kamu menggantikanku” “Setiap yang aku miliki (sisa peninggalan hidup) adalah bagian wujud kasar yang tiada berarti dan hakikat sebenarnya adalah kembali ke yang punya, maka peliharalah apa yang menjadi izin langsungku hingga kau menikmati dengan apa yang sesungguhnya kau pahami ” sumber :

Ilmu Pemikat, Semakin Sayang Semakin Dekat (oleh: Saipudin)

Ilmu Hikmah itu bersumber dari orang-orang yang mengkaji, mendalami dan mencari rahasia ayat ayat suci Al Qur’an. Inilah salah satu ayat sakti yang menyimpan karomah pengasihan dan pemikat. ilmu pemikat ilustrasi Salah satu ilmu pengasih dengan corak Islami adalah apa yang disebut dengan nama Ayat Pemikat. Ilmu ini termasuk ke dalam golongan ilmu pengasih tingkat tinggi yang daya spiritualnya tidak diragukan lagi. Apa yang disebut sebagai Ayat Pemikat adalah salah satu ayat dalam Al Qur’an yang termaktub dalam surat Taha ayat 39.Ada suatu sejarah yang melatarbelakangi mengapa ayat 39 dalam surat Taha tersebut oleh Ahli Hikmah dijadikan sebagai amalan atau mantera ilmu pengasih. Alkisah, pada suatu hari seorang ahli nujum datang menghadap Fir’aun untuk menafsirkan makna mimpi sang raja. Menurut perhitungan si ahli nujum, tak lama lagi bakal lahir seorang bayi dari bangsa Israil yang kelak akan menjadi musuh dan menjatuhkan kekuasaannya. Fir’aun berang mendengar arti tafsir mimpinya itu. Dia pun memberikan perintah agar membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari kalangan bangsa Israil. Dan berita ini dengan cepat menyebar di kalangan rakyat Mesir. Pasangan suami isteri Imran dan Yukabad begitu cemas setelah mendengar berita tersebut. Terlebih lagi setelah Yukabad, ibunda Nabi Musa, mengetahui bahwa anaknya yang lahir adalah laki-laki. Pasangan suami isteri ini pun sangat panik. Jika tak segera disembunyikan anak itu tentulah akan dibunuh oleh kaki tangan Fir’aun. Yukabad sangat sayang pada bayinya yang molek, sehat dan lucu itu. Meski Imran suaminya menyarankan agar bayi itu dipasrahkan saja kepada Fir’aun daripada mereka celaka, namun Yukabad tak menghendakinya. Dia tak rela bayinya sampai dibunuh. Tapi masalahnya, untuk menyembunyikannya terus menerus juga tak mungkin. Di tengah kegalauan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan ilham kepada Yukabad untuk membuat peti tahan air, lalu menghanyutkan Musa di dalam peti itu di sungai Nil. Kakak perempuan Musa diperintahkan mengikuti kemana peti itu hanyut dan oleh siapakah bayi Musa nanti ditemukan. Atas kehendak Allah, ternyata peti itu ditemukan oleh putri kesayangan Fir’aun yang kala itu sedang mandi di sungai Nil. Peti pun dibuka. Setelah tahu isinya bayi, sang putri memerintahkan dayang-dayangnya untuk membawa bayi mungil nan lucu dan tampan itu ke hadapan ibunda Ratu, yaitu istri Fir’aun yang bernama Asiah. Istri Fir’aun sangat senang melihat bayi itu. Dia pun ingin mengangkatnya sebagai anak. Maka, diutarakannyalah niat ini kepada Fir’aun. Mula-mula Fir’aun bersikeras menolak, namun atas bujukan isteri yang sangat disayanginya, akhirnya dia pun terpaksa setuju. Allah telah memberikan Musa kepada musuhnya. Subhanallah! Dan Musa tidak dibunuhnya, malah dipeliharanya dengan penuh cinta kasih hingga Musa kecil tumbuh menjadi besar dan dewasa. Sebelum Musa hidup dan tumbuh kembang di istana Fir’aun, ternyata Allah telah melimpahkan terlebih dahulu kepada Musa kecil dengan “kasih sayang”. Itulah yang membuat Musa begitu dikasihi oleh Fir’aun. Begitu melihat Musa muncul perasaan welas asih. Nah, inilah yang kemudian oleh orang sekarang disebut sebagai ilmu pengasihan. Rahasianya terletak pada potongan ayat yang berbunyi: “WA ALQOITU ‘ALAIKA MAHABBATAN MINNII WALITUSHNA’A ‘ALA ‘AINI” Artinya: Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasanKu (QS. Taha 20 : 39). Menurut Ulama Hikmah, jika ayat tersebut diamalkan dengan istiqomah, seseorang akan mempunyai daya tarik dan daya pikat luar biasa di dalam dirinya. Agar Pembaca Misteri tidak penasaran, Ustad Saipudin akan beberkan urutan tata cara ritualnya. Berikut uraian lengkapnya: • Puasa 3 hari pada saat purnama, yaitu tgl 13, 14 dan 15 menurut kalender Hijriyah. Niatnya; nawaitu souma godin li qodo’i hajatii sunnatan Lillahi Ta’ala. • Selama puasa, ayat di atas dibaca 40 kali setiap sesudah shalat fardhu. Bila puasa usai, cukup dirapal 7 kali saja. • Selama puasa, malamnya dirikan shalat Hajat 2 rakaat dan amalkan ayat tersebut sebanyak 313 kali. Setelah menjalankan ritual tersebut, Insya Allah daya karomah ayat sakti tersebut sudah menyatu dengan diri Anda. Ayat Pemikat ini tidak hanya berfungsi sebagai pengasihan untuk memikat lawan jenis. Karomahnya juga ampuh untuk melancarkan perdagangan, menagih utang, bisnis, juga agar disayang suami/isteri, termasuk dipercaya dan disayangi atasan. Power gaib ilmu ini juga bisa ditingkatkan sampai level setinggi mungkin. Caranya, dengan tekun menjalankan shalat 5 waktu, tidak boleh ada yang tinggal, kecuali bagi wanita yang sedang menstruasi. Di samping itu, siapapun yang berniat mengamalkan ayat ini harus menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Kalau kita lulus menghadapi semua ujian tersebut, maka sudah pasti akan naik tingkatannya. Nah, salah satu ujian yang paling nyata biasanya Anda yang pria akan dihadapkan dengan wanita yang cantik dan dia memberikan banyak peluang kepada Anda. Bila Anda lulus dengan tidak melakukan perzinahan, maka power ilmu ini akan semakin bertambah kuat dan dahsyat. Sumber: www.facebook.com/saipudinhikmah