Selasa, 29 April 2014

PENUMPANG GELAP DARI ALAS ROBAN


Pernah denger tentang alas roban? Itu loh hutan yang terkenal sama keangkerannya. Cerita misteri soal Alas Roban sudah terdengar sejak dulu. Hutan yang terletak di Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu menyimpan banyak misteri yang selalu mengikutinya.

Dan ini adalah salah satunya. Simak yaah??



            Tangan-tangan mungil itu kejang dan bergetar hebat. Cengkeramannya tidak sedikitpun dilepaskan, bahkan terasa makin kuat. Sampai kuku-kuku panjangnya terasa mulai melukai kulitku. Perih. Percuma, aku berontak atau berusaha melepaskannya dengan paksa, karena cekalan Rahmi justru akan makin kencang. Kasihan, sebenarnya. Perempuan yang baru saja kubawa dari Jawa ini, masih sangat polos. Repot memang, cari pembantu hari gini. Selain butuh orang jujur, juga musti betah dan sabar.
            Kalau dipikir-pikir, beruntung banget keluarga besar kami memiliki Mbok Jum. Pembantu yang sudah mengabdi belasan tahun, sejak aku masih kuliah sampai kini sudah berumahtangga. Mama sebenarnya nggak merelakan, wanita separuh baya itu aku bawa ke rumahku yang baru. Karena bagi beliau, Mbok Jum bukan sekedar pembantu. Tapi sudah seperti keluarga, kerabat, saking tulus dan baiknya beliau. Gara-gara melihat pembantu di rumahku, keluar masuk alias nggak bertahan lama, akhirnya mama mengiyakan, Mbok Jum tinggal bersamaku.
            Sayangnya, penyakit usia tidak bisa dihindari. Tahun kedua, wanita itu minta ijin pulang ke kampung. Kondisi kesehatannya belakangan menurun. Beliau mengaku, ingin menikmati masa tuanya bersama kerabatnya di desa. Ya, aku tidak mungkin menahannya berlama-lama di rumah. Kasihan. Lagipula, kuperhatiin tenaganya juga tidak sekuat dulu lagi. Masa tega, melihat beliau ngeberesin seisi rumah sendiri?
            Pembantu pocokan atau harian, akhirnya menjadi pilihan terakhir. Mas Dika, suamiku menyarankan aku menggunakan pembantu bekerja tengah hari saja. Asal bantuin mencuci pakaian, setrika dan rapiin rumah.  Lantas, mereka bisa pulang.  Hasilnya? Nggak sukses. Bolak balik ganti orang, bolak balik ada kejadian tidak mengenakkan. Pokoknya, belum ada yang setangguh dan sebaik Mbok Jum…
            Bingung. Kesal. Mama sampai geleng-geleng kepala, tiap main ke rumah mendapati pembantu ganti lagi. Hingga akhirnya, sepupu Mas Dika menyarankan, kami mengambil pembantu dari Jawa. Kebetulan banget, Mbok Jum juga mengatakan kerabatnya ada yang membutuhkan pekerjaan. Demi memperoleh PRT, berdua dengan Mas Dika weekend ini kami sengaja ke kampung Mbok Jum buat menjemput saudaranya itu. Sekalian nengokin beliau yang kabarnya sering sakit-sakitan, karena faktor usia.
*********
            Lugu. Polos banget, Imah. Perempuan berwajah oval dengan alis mata tebal dan rambut sepinggang itu, kutebak usianya baru belasan. Waktu kami jemput, kelihatan banget dia belum pernah ninggalin kampung halamannya. Kelihatan malu, takut dan sedih. Apalagi saat berpamitan dengan kedua orangtuanya. Wah, seperti nonton sinetron-sinetron saja… Haru.
            Lumayan. Meski harus menempuh jarak sekian km, berhasil juga kami memperoleh PRT. Kubayangkan, rumah nggak sepi lagi kalau Mas Dika keluar kota atau pulang larut. Minimal aku punya teman ngobrol atau beberes rumah.  Tapi ya itu…polosnya bukan main. Sepanjang jalan, Imah kelihatan begitu resah. Nggak bisa duduk nyaman, menyandarkan badan di mobil. Bolak balik dia mengaduk-aduk isi tas jinjing, lantas duduknya geser mojok ke sisi kanan. Belum ada lima menit, pindah lagi, geser ke sisi kiri… Sampai-sampai, aku ikutan gelisah.
            “Imah, kenapa? Sakit perut? Ada barang kamu yang ketinggalan?” tegurku, sembari memperhatikan dia yang duduk di tengah. Mas Dika yang sejak tadi mengemudikan mobil, hanya senyum-senyum saja, melihat ekspresiku.
            “Nggak apa-apa, bu…Nggak ada yang ketinggalan….”
            “Ya sudah, santai saja. Tidur juga boleh. Perjalanan kita masih jauh lho.. Alas di depan saja, belum kita lewati…”
            Untung, bujukanku ampuh. Nggak lama, Imah kelihatannya mulai terkantuk-kantuk, sambil memeluk tas dari kain yang sudah tidak jelas lagi warna aslinya itu. Pasti, dia masih kebayang orang-orang terdekatnya di kampung…batinku. Ntar juga kalau sudah sampai Semarang, dia tidak segelisah itu.
            Tebakanku, salah besar. Bukannya, Imah tertidur pulas hingga sampai Semarang, malah sebaliknya. Jelang alas roban yang kondisi jalanannya padat merayap, dia tiba-tiba terjaga. Mata bulat itu terbelalak, menyaksikan deretan mobil dan truk di depan. Tapi bukan hanya itu, tiba-tiba saja….
            “Bu…takuttt…buuu, pulangggg!” teriaknya, histeris. Tangan-tangan mungilnya mencengkeram pundakku, hingga posisi dudukku tertarik ke belakang. Mas Dika sampai kaget, nyaris menginjak rem, hingga kami tersentak ke depan…
            “Imah, ada apa lagi? Mimpi buruk ya…” aku berusaha menenangkan. Tapi tangan-tangannya makin kuat, mencengkeram. Sampai kurasakan, tengkukku perih. Hiiih! Jangan-jangan kulit mulus ini sudah baret-baret, kena cakarannya nih!
            Sebisa mungkin, kulepaskan cengkeraman Imah. Cewek berkulit sawo matang itu kini ganti memelukku dari belakang, begitu kuat. Sampai-sampai aku susah bernafas…Gila nih bocah, batinku. Stress…
            Entah apa yang mengganggu pikirannya. Kalau dibilang berlebihan, nggak juga. Karena kurasa, dia benar-benar ketakutan. Masalahnya, apa yang membuatnya takut?
Kami berada dalam mobil yang sangat nyaman, meski jalanan macet dan pemandangan kanan kiri hanya pohon rimbun dan jurang menganga…
            Untung, nggak lama Imah kembali tenang. Mata yang tadinya terbelalak melihat ke kanan kiri jalan, kini tak lagi garang. Wajah pucat itu, basah bermandi keringat. Heran. Padahal ac di mobil begitu dingin. Entah apa yang dia khawatirkan…Apa dia nggak pernah melihat dunia luar, sampai segitunya?
            “Ma, sebentar ya…” kata Mas Dika membuyarkan lamunanku. Ouch, sudah sampai mana ya? Kulihat jalanan lumayan lenggang, tapi pemandangan di sekitarku masih tidak jauh berbeda. Pohon, semak-semak, bukit, jurang…fiuuhhh…
            “Kita mau turun ya bu?” tanya Imah, waktu mobil menepi di dekat pepohonan rindang dan berhenti.
            “Kalau nggak ada perlu, nggak usah turun Mah. Bapak saja, ada perlu…” kataku, sambil mengeluarkan snack dari dalam tas.
            Mas Dika rupanya ngerasa ada yang tidak beres dengan mesin mobil. Maka dia memutuskan menepi sebentar, sekedar ngecek mesin dan melemaskan sendi-sendinya yang pegal.
            Aku yang setengah mengantuk, memilih diam saja dalam mobil. Kulihat Imah turun, sebelum akhirnya ku benar-benar tertidur pulas, akibat letih amat sangat.
            Benar-benar perjalanan melelahkan. Tiba di rumah, aku hanya memberitahu kamar dan perlengkapan pribadi buat Imah. Lantas, mandi dan tidur…Mas Dika juga kelihatannya capek banget. Dia hanya sempat mandi, lantas menyusul aku. Tidur.
**************
            Senin pagi yang sempurna. Mas Dika sudah berangkat pagi-pagi bener,  sementara aku masih menyiapkan beberapa berkas buat  dibawa ke kampus. Sebagai dosen, pantang bagiku membawakan materi kuliah dengan ala kadarnya. Minimal, bahan-bahannya sudah kubaca ulang dan kusiapkan semalam. Mm, beruntung juga…Imah akhirnya bekerja di rumah kami. Setidaknya, aku bisa tenang ninggalin rumah...
            “Berani ya, ninggalin rumah? Pembantu kamu kan baru sehari ditinggalin sendiri? “ tanya Nesya, dosen satu jurusan denganku, keheranan. Ya sih, memang baru sehari Imah kutinggalin sendiri. Tapi gimana lagi, masa aku musti ijin dan nggak mengajar hari ini?  Lagipula, keluarga kami juga nggak kaya-kaya amat…Dia mau merampok apa, toh nggak ada perhiasan berharga atau uang jutaan rupiah di kamar.
            Pertanyaan Nesya tadi nyaris kulupakan, andai saja Mas Dika nggak menelponku siang ini. Katanya, telpon di rumah kok nggak ada yang angkat.
            “Mungkin saja Imah lagi di kamar mandi atau ketiduran, mas… Dia masih kecapekan kali, belum biasa perjalanan jauh,” kataku, berusaha menenangkan. Padahal jujur sana, aku juga ikutan gelisah waktu melihat sikap Imah. Seharian ini, sepulangnya aku dari kampus kulihat dia nggak banyak bicara. Murung. Kalau kutanya atau kudekati, dia seperti menghindar… Kasihan. Mungkin dia masih homesick. Mikirin keluarganya di kampung.
            Murungnya Imah juga berimbas sama pekerjaan. Karena seharian ini, kulihat rumah masih berantakan. Alamakkk…Mungkin dia nggak tahu, apa saja yang musti dikerjain? Capek juga dong, menjelaskan detailnya apa saja..Bukannya secara dia bisa refleks merapikan ruangan yang kotor atau tanaman di halaman disiram?
            Hari pertama aku ngantor dan Imah ada di rumah, tidak semulus yang kuharapkan. Faktor umur, bisa jadi. Seperti yang dibilang Mas Dika. Imah kelihatan banget masih sangat muda. Dia belum terbiasa dibebani arti tanggungjawab. Gimana musti bersikap dengan majikan. Buktinya, nyantai saja tuh dia mengurung diri di kamar, sepulangnya aku dari kampus….
            Bolehlah, hari ini aku tidak menegur atau memanggil Imah. Lagian, aku sendiri sudah capek dengan tumpukan hasil test yang musti kukoreksi. Belum lagi, bantuin packing Mas Dika yang besok mau keluar kota.
            Pagi ini, sengaja aku menyiapkan sarapan sendiri. Toh sederhana saja, roti bakar, susu coklat hangat kesukaanku dan kopi pilihan Mas Dika. Kudengar suara pompa air menyala di belakang. Mungkin Imah sedang mencuci pakaian…sudahlah, toh sarapan nggak butuh bantuannya…
            Bing! Mas Dika menghentikan suapannya. Refleks aku pun melihat jam yang ada di dinding. Baru pukul enam pagi. Siapa yang menelpon? Jangan-jangan kabar dari mama yang sakit atau apa….Perasaanku langsung nggak enak. Mas Dika sudah duluan mengangkat telepon. Kurasa, sesuatu yang tidak beres benar-benar terjadi. Wajah cowok bermata elang dengan rambut cepak itu mendadak pucat. Suaranya juga tergagap-gagap. Hanya menjawab, “Iya, baik…benar….”
            Rasa penasaranku belum juga terjawab, ketika selesai menerima telpon, Mas Dika diam seribu bahasa. Sambil memberi tanda supaya aku segera menyelesaikan sarapanku, lantas mengajakku berangkat bersama, tanpa banyak kata.
            “Mas, kenapa sih tegang banget dari tadi? Kita mau kemana sekarang?” tanyaku bingung, waktu melihat mobil yang dibawa Mas Dika, arahnya bukan ke kampus atau ke kantornya.
            Semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku terjawab sudah, waktu kami tiba di rumah mama. Wanita yang melahirkanku itu tidak sendiri, tapi bersama seorang laki-laki separuh baya. Kata mama, beliau salah satu kerabat Mbok Jum yang mengantarkan Imah ke rumah, sekaligus minta maaf. Karena Imah terlalu polos, sampai-sampai waktu mobilku berhenti di tepi jalan buat check mesin dia malah ngobrol kelamaan dengan seorang perempuan yang katanya dia temui ada di dekat mobil kami parkir. Pas Imah sadar, aku dan Mas Dika sudah pergi meninggalkannya.
Untung,  cewek itu ditolong penduduk dusun yang lewat dan diantarkan balik ke rumahnya.
            Wusss! Keringatku mengucur deras. Kupastikan andai ada cermin, wajah ini pasti kelihatan sangat pucat. Sama seperti Mas Dika yang tengah duduk di sampingku. Andai Imah nggak ikut balik bersama kami, trus siapa cewek yang tinggal di rumah? (ft: berbagai sumber)
Share cerita punya orang nih, coba deh simak..

 PROTES DARI KORBAN ABORSI
            Jujur. Meski banyak pengetahuan yang menjelaskan bahayanya aborsi dan larangan agama, tapi masih saja ada manusia-manusia yang tega menggugurkan, membunuh dan membuang calon bayi yang tidak berdosa. Mereka sebenarnya sudah memiliki “nyawa” yang bisa protes, jika dirinya tersakiti…Dengar kisah Nita, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Bogor…   
Tangan-tangan kotor, berlepotan tanah merah itu mendadak sudah meraih kakiku, hingga tubuh mungil ini terjerembab ke lantai.  Sekuat tenaga, apa saja berusaha kuraih, hingga kaki meja ruang makan yang terbuat dari ukiran kayu itu, bisa kupeluk. Namun ternyata bocah itu lebih kuat tenaganya dari yang kubayangkan.  Peganganku terlepas, lantas tubuhku terasa bagaikan kapas, begitu ringannya, sampai-sampai bocah dengan wajah penuh guratan luka itu begitu mudahnya menghempaskan badanku ke dinding…Kelihatannya, dia begitu bersemangat. Mulutnya menyeringai, lantas teriakannya yang lebih mirip lengkingan itu terdengar memekakkan telinga.
“Jangan coba-coba meninggalkankan tempat ini…Jangan mencampakkan kami begitu saja…” Suara parau itu menggeram, penuh kemarahan. Tiba-tiba wajahnya yang penuh gurat luka itu sudah ada, begitu dekat dengan wajahku…Astagaaa…baunya begitu menyengat, bagaikan air comberan. Nyaris membuatku muntah…
 Entah darimana kekuatan bocah yang kemarin masih bermanja-manja dalam pelukanku…Ya, bukankah dia Eka, anak jalanan yang kutemukan menggigil, karena menahan lapar di lahan kosong, tak jauh dari rumah? Mengapa dia begitu ganas, seperti tidak mengenali aku lagi?
“Ta, bangun Ta!” Suara itu membuatku tersadar. Mita, kembaranku! Ternyata aku bermimpi.
“Hai, Ta…Bangun! Mimpi serem ya, sampai teriak-teriak. Gue takut lo kesurupan…ha…ha…ha…. “  Mita tertawa terbahak-bahak, ketika melihat wajahku yang basah oleh keringat itu, masih terbengong-bengong, mirip orang linglung.
“Jam berapa, Ta? Semalam aku teriak-teriak???”
“Udah jam tujuh nih…Gue mau ke  atm ngecek transferan dari mama. Mau nitip apa?”
Aku menggelengkan kepalaku, badanku lemas.  Mimpi yang benar-benar seperti kejadian nyata. Heran. Bukan hanya sekali ini, bayangan bocah kecil itu mengganggu tidurku.  Ya, tepatnya sejak dua minggu belakangan ini, ketika aku mulai mengenal Eka. Bocah itu kutemukan sedang menggigil kedinginan di teras depan rumah, saat hujan mengguyur kotaku, Bogor.
Kasihan. Bocah ini hidup sebatangkara. Katanya, ayahnya tidak pernah mengakui dia sebagai anaknya. Sang ibu, meninggal ketika melahirkan dia. Benar-benar ironis, masih ada orangtua yang tega menelantarkan anak kandungnya sendiri. Apalagi kulihat, Eka bocah yang cerdas, meski dia tidak menikmati bangku sekolah, layaknya anak sebayanya.   
Pemilik mata bulat, rambut kriwil sebahu dengan kulit sawo matang itu, juga suka menatapku dalam-dalam, setiap kali melihat aku duduk di teras depan rumah.  Awalnya, kupikir dia anak kampung belakang yang kebetulan main, ternyata tidak hanya kali itu saja kulihat dia dengan tatapan nanarnya. Pernah, mama dan papa yang tinggal di Bandung, ketika menengokku, menemukan dia lagi duduk di depan pagar rumah. Tapi ketika didekati, dia buru-buru kabur.
            Rumah milik papa ini memang sudah setahun tidak ditinggali, sejak Kak Rain kakakku satu-satunya kuliah di Melbourne. Maklum, hanya dia yang paling rajin main ke rumah warisan orangtua papa yang nyaris mau dijual ini. Untung, aku berhasil meyakinkan papa, buat menunda niat beliau dengan pindah ke rumah ini bersama Mita kembaranku, sambil mengambil kuliah di Bogor.
 Kalau dipikir-pikir, rugi bila rumah yang berasitektur Belanda ini dijual. Apalagi dengan harga murah, seperti yang papa pernah ceritakan. Soalnya lokasinya strategis sekali. Lihat saja, ada klinik pengobatan yang standby 24 jam, tidak jauh dari tempat tinggalku. Bila butuh bahan pokok juga tinggal  berjalan kaki. Apalagi kalau mau memotong jalan…
Kulirik jam di dinding, astaga…sudah pukul delapan! Mita pasti akan mentertawakanku, jika melihat aku masih terbengong-bengong di atas tempat tidur. Buru-buru kuambil handuk, lantas mandi…
Bbbrrr! Segar. Bayangan menakutkan dalam mimpiku tadi sudah kulupakan. Bunga tidur saja, batinku sambil menyeduh secangkir kopi. Lantas, kuraih roti bakar yang sudah dibuatkan Mita untukku…Kembaranku itu memang pengertian…Dia tahu, semalam aku mengerjakan paperku sampai lewat tengah malam.
“Ta…, nggak ke kampus?” Ough! Dasar…Mita suka membuatku jantungan. Cewek berambut sebahu itu, langsung duduk di sampingku, lantas menyerobot kopi panasku dengan muka tak berdosa…
“Bagi ya…” katanya enteng.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat kejahilannya. Meski kami kembar, kami memang sangat berbeda. Mita lebih terbuka, tomboy, jahil dan suka bercanda, sementara aku pendiam, pemalu dan suka main perasaan. Nggak heran, waktu kukenal Eka pertama kali, Mita nggak terlalu heboh seperti aku yang mati-matian menginginkan bocah itu tinggal di rumah kami. Entah mengapa, Eka menolak. Bocah itu hanya mau main sesekali saja, tapi tidak tinggal di rumah kami. Bila kutanya, dia tinggal dimana, jawabnya singkat…
“Nggak jauh dari rumah ini, mbak…” kata Eka, diplomatis nadanya.
            Ya, sudahlah. Mungkin dia punya kehidupan pribadi sendiri yang tidak ingin aku campuri.
            “Tuh kan, melamun lagi…Soal mimpi semalam lagi?” tegur Mita, mengejutkan.
            Ampun…Kenapa aku memikirkan bocah itu lagi ya?
            “Sudahlah, Ta…Jangan dipikirin lagi…Mimpi itu bunga tidur…Lagipula, selama ini tidak ada kejadian aneh-aneh di rumah kita kan? Papa juga sudah bilang kemarin, bulan depan kita musti pindah ke rumah baru yang lokasinya dekat kampus. Sedangkan rumah ini kan terlalu besar, sayang bila hanya kita yang menempati. Papa sudah menemukan pembeli yang cocok. Uangnya bisa buat tambahan biaya kuliah kita.”
            Omongan Mita barusan, membuatku tersadar. Ya, toh tidak lama lagi aku pindah. Mungkin ketakutanku berpisah dengan rumah ini saja, membuatku mimpi yang bukan-bukan…
***
            Gemuruh air di luar yang seperti ditumpahkan dari langit, membuyarkan lamunanku. Sepi. Malam ini, Mita yang suka ngoceh, menggoda aku, pulang ke Bandung. Katanya kangen mama…Duh, tuh anak. Ngaku tomboy, ternyata mellow juga hatinya. 
Guntur sesekali terdengar, membuatku merapatkan jaket. Ngeri. Bayangan seram suka menggangguku akhir-akhir ini. Angin kencang di luar juga membuat suara gaduh. Pohon-pohon kulihat dari balik jendela, kelihatan meliuk-liuk, seperti mau roboh. Dingin-dingin begini, paling enak menyeruput segelas susu coklat hangat!  Mmm..setengah malas, kulangkahkan kakiku ke dapur…
Tok…tok…tok…
Langkahku terhenti seketika. Suara itu terdengar jelas, asalnya dari teras depan. Siapa ya, malam-malam begini bertamu? Mungkinkah perampok? Tubuhku bergetar hebat. Ketakutanku kembali muncul…Jika perampok,…
Kuintip dari balik jendela, … wuzz…tidak ada siapa-siapa. Huh! Mungkin perasaanku saja… Namun, ketika kuhendak balik ke dapur, tiba-tiba ketukan itu kembali terdengar…Kali ini, ada suara yang sepertinya kukenali…
“Jangan tinggalkan kami… Kami tidak mau sendiri di sini…”
Bbbr….Angin bertiup, dingin. Bulu kudukku mendadak berdiri…
Suara itu…
“Tolong…tolong, jangan pergi…Kami tidak mau sendiri di sini…”
Glek. Aku menelan ludah, takut… Bayanganku adegan dalam film horror, berkelebat jelas. Selama ini, aku bisa tertawa, melihat film horror. Tapi kali ini, aku merasakan diriku ada di dalamnya, begitu nyata…
“Tolong…”
Badanku bergetar hebat. Pintu depan, berderak. Suaranya begitu berisik, seperti berlomba dengan suara hujan di luar…Buru-buru, kuberlari masuk ke dalam kamar, lantas menguncinya rapat-rapat. Belum sempat bernafas lega, tiba-tiba…lampu mati!
Tubuhku lemas. Nafasku terasa memburu. Tanganku mencoba mengaktifkan lampu yang ada di handphone, tapi karena gemetar, handphoneku malah jatuh ke lantai!  Suara itu makin dekat, dekat…dan kini terasa tepat di depan pintu kamar… Pintuku berderak, guntur yang bersahutan di luar, makin membuatku menggigil ketakutan…Aku pasrah, …keringat sudah membanjir, nafasku tersengal-sengal…
“Tolong…” Deg! Tanganku terasa ada yang memegang. Dingin…Badanku langsung ambruk mencium lantai. Gelap!
***
Gara-gara terlalu banyak nonton film horror, kata Papaku ketika keesokan harinya kusadar sudah berada di kamar ditemani Mita dan Papa. Kata Mita, semalam mereka menemukan rumah sedang mati lampu. Ketika mau membuka pintu, aku berteriak ketakutan. Bahkan mengusir mereka pergi, sampai akhirnya tubuhku ambruk, pingsan…
‘Benar, pa…Nita tidak bermimpi atau berkhayal. Semalam ada yang berusaha masuk ke rumah, menteror…” protesku, ketika papa tidak mau mendengar penjelasanku.
 
Gara-gara kejadian itu, aku istirahat total di rumah. Untung Mita dan Bik Mimin dari Bandung, menemaniku bergantian, karena aku tidak pernah mau lagi ditinggal sendirian. Papa memutuskan, kami segera pindah rumah. Selain mimpi-mimpiku yang kacau, juga rumah itu sudah ada pembelinya.
Siang ini, sehabis membereskan beberapa perabot rumah yang akan kami bawa pindah, kami melihat beberapa petugas kepolisian lalu lalang di depan rumah. Kelihatannya ada kejadian serius, batinku. 

Belum habis rasa heranku, kulihat dua orang petugas datang. Beliau ditemui papa, kulihat dari ekspresi papa, beliau sangat terpukul, sampai menggeleng-gelengkan kepala…
 
Papa tidak bicara apa-apa, ketika kutanya masalah petugas yang datang siang itu. Beliau baru menceritakan kejadian selengkapnya, setelah kami masuk ke rumah baru yang lebih mungil, tapi dekat dengan kampus.
 
Baru kutahu…Klinik yang lokasinya dua rumah dari rumah kami, sering melakukan aborsi gelap. Banyak calon bayi tidak berdosa dibunuh, lantas dimakamkan seadanya di halaman klinik itu juga. Tragisnya lagi…dari pengakuan seorang bidan yang melakukan aborsi, ketahuan janin yang digugurkan itu juga ada yang dibuang dan ditanam di halaman rumah kami…Ketika dulu, kami jarang menengok rumah ini, mereka pikir, kesempatan buat menyembunyikan jejak kejahatan mereka…
 
Papa dan Mita, mengakui sekarang… mimpi-mimpiku ternyata ada benarnya. Mungkin, Eka yang kukenal sebenarnya roh bayi yang penasaran…Roh yang selalu menggangguku, tidak ingin ditinggalkan sendiri, ya…roh bayi-bayi itu…Mereka mungkin merasa, jika keluarga kami cukup “bersahabat” dengan mereka. Karena  pembeli baru rumah kami bisa saja merenovasi bangunan rumah ini, sehingga “keberadaan” mereka terusik…(Kisah Nita ini diceritakan kembali oleh Steph)
 
http://namastephanie.blogspot.com/2010/11/kisah-misteri.html

5 Cerita seram pembunuh yang dihantui arwah korban

Pernah dengar cerita pembunuhan sebelumnya? Cerita berikut ini saya dapat dari www.merdeka.com. Buat saya sih serem yah, dari judulnya ajah udah gimana gituh. Bagi yang masih belum mohon carilah teman untuk membaca cerita berikut ini.


Merdeka.com - Kasus pembunuhan mungkin sudah menjadi momok menyedihkan di Indonesia. Hampir setiap hari kita bisa menjumpai beragam kasus-kasus pembunuhan di beberapa daerah.

Bahkan beberapa masyarakat sudah tak kaget lagi dengan banyaknya kasus-kasus pembunuhan yang sering terjadi. Sebab publik sudah terbiasa mengonsumsi pemberitaan yang tiap hari itu-itu saja modusnya.

Kebanyakan kasus berdarah itu biasanya hanya didasari oleh motif sepele, misalnya dendam dan sakit hati hingga disuruh oleh pihak yang menginginkan membunuh.

Nah, dari beberapa kasus pembunuhan yang terjadi ada beberapa cerita seram yang menerpa para pelakunya. Kebanyakan para pelaku pembunuhan yang sudah tertangkap polisi mengaku dihantui oleh arwah korban yang dibunuhnya itu.

Berikut beberapa cerita seram pelaku pembunuhan yang dihantui arwah korban seperti dirangkum oleh merdeka.com:

1.
Gara-gara dihantui arwah, pembunuh ini gantung diri

Merdeka.com - Supendi (46), pelaku pembunuhan wanita di dalam tandon air nekad mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di tahanan Mapolsek Pedurungan, Kota Semarang. Diduga Supendi mengakhiri hidupnya karena dihantui arwah korban bernama Wahyu Puji Hartini (34).

Menurut Rois, rekan satu sel Supendi mengatakan warga Sawojajar, Wonosari, Brebes, Jawa Tengah itu mengigau meminta tolong. Di dalam sel, lanjut Rois, Supendi seperti orang ketakutan.

"Bahkan, pernah saking takutnya Supendi seperti ngelindur memanggil-manggil nama anaknya meminta tolong," ujar Rois di Mapolsek Pedurungan, Senin (31/3).

Sementara itu, Kapolsek Pedurungan Kompol Sukarman menuturkan Supendi sering melamun dan mondar-mandir di dalam sel menurut hasil pengamatan CCTV di sel tahanan Mapolsek Pedurungan.

"Terakhir sekitar pukul 02.30 WIB, Supendi sebelum gantung diri juga melamun dan mondar-mandir seperti tidak bisa tidur," jelas Sukarman.

2.
Wawan dan Ade dihantui arwah cantik Sisca Yofie

Merdeka.com - Wawan mengaku tak bisa tidur nyenyak setelah menghabisi Sisca Yofie. Dalam pelariannya usai membunuh manajer cantik bersama Ade, Wawan mengaku selalu dibayangi arwah Sisca.

"Pengakuan Wawan sendiri bahwa memang selama ini selalu dibayang-bayangi oleh almarhum Sisca," kata Kapolrestabes Bandung Kombes Sutarno di Mapolrestabes Bandung, Senin (12/8).

Pengakuan mirip juga dituturkan Ade. Kepada wartawan, dia mengaku tidak tenang setelah pembunuhan itu. Dia didera ketakutan karena bayang-bayang Sisca terus menguntitnya. Mereka menjadi tidak enak makan. Bahkan ketika hendak tidur, Ade seperti melihat Sisca.

"Saya merasa diikuti arwahnya terus," ujarnya.

Ade kemudian menceritakan pengalamannya itu kepada kakek dan istrinya di rumah. Kakeknya yang bernama Ahri lantas memarahi Ade. Begitu juga dengan istrinya. Kedua anggota keluarganya itu meminta Ade menyerahkan diri ke polisi.

Pengalaman Ade dikuntit bayang-bayang Sisca sebelumnya juga dituturkan Kakeknya, Ahri (65). "Setelah kejadian itu, cucu saya (A) tiga hari gak makan. Seperti orang linglung (bingung). Ia mondar-mandir gak jelas, makan pun tidak," terangnya saat ditemui di kawasan Sukamulya, Kecamatan Sukajadi, Minggu (11/8).

3.
Usai bunuh Neneng di vila, Slamet digentayangi

Merdeka.com - Malang benar nasib Neneng (25), pembantu rumah tangga ini dibunuh oleh Slamet Pujihartono (31), salah seorang penjaga vila. Dia dibunuh di sebuah vila kawasan Kampung Bojong Honje RT 4/RW 3, Desa Gunung Geulis, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Peristiwa pembunuhan Neneng di vila yang diketahui milik Mr J warga Jakarta tersebut membuat kaget warga sekitar. Korban dibunuh karena menolak berhubungan badan. Neneng dibunuh dengan cara dianiaya, lalu jasad korban dikubur di pekarangan di dalam vila.

Usai menguburkan korban, Slamet duduk termenung di bawah pohon hingga pukul 16.00 WIB. Pelaku menceritakan kejadian itu kepada sesama penjaga vila, Umai (40) karena Slamet takut dihantui arwah Neneng.

"Saya merasa ketakutan karena bayangan korban terus menampakkan diri sambil matanya melotot, dan terus menghantui saya," kata Slamet kepada Umai.

Atas hal itulah Slamet lalu menyerahkan diri ke kantor polisi ditemani Umai. Polisi pun langsung memproses dan mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan olah tempat kejadian perkara dan mengambil jenazah Neneng.

4.
Pago didatangi arwah Holly di dalam mimpi

Merdeka.com - Pago Satria Permana, satu dari tiga terdakwa pembunuh Holly Angela Hayu di Apartemen Kalibata City, menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selama persidangan Pago terlihat gemetaran selama dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum.

"Sedih. Ini nahan nangis," ujar Pago saat mendengar pembacaan dakwaan kedua rekannya, Surya Hakim dan Abdul Latief, Senin (24/3).

Pago mengatakan dirinya kerap dihantui wajah Holly, perempuan yang dia bunuh atas permintaan Gatot Supiartono, suami siri Holly. "Iya suka didatangin di dalam mimpi," curhat Pago.

Untuk itu, pasca terkuaknya pembunuhan berencana terhadap Holly, dia menjadi sering salat lima waktu dan salat tobat saat mendekam di balik jeruji besi.

"Saya jadi sering salat lima waktu. Salat tobat juga saya," tuturnya.

5.
Dihantui arwah, Jayadi serahkan diri ke polisi

Merdeka.com - Jayadi akhirnya menyerahkan diri kepada kepolisian setelah membunuh Ali Idris. Peristiwa ini terjadi pada Maret 2013 lalu di Pasar Induk Cibitung, Bekasi.

Motif pembunuhannya pun ternyata juga sepele, Jayadi enggan diajak untuk mencuri Ali Idris. Saat terjadi cek cok, Ali sempat mengeluarkan pisau dan ingin menusukkan ke Jayadi. Namun seketika itu juga, Jayadi berhasil menangkis dan mengambil pisau itu. Kemudian Jayadi langsung menghujamkan pisau itu ke perut sebelah kanan Ali.

Setelah melihat Ali jatuh berlumuran darah, Jayadi kemudian langsung melarikan diri. Dia bersembunyi di daerah Gubug Sawah Kampung Bulak Temu.

Jayadi yang sempat buron sehari ini kemudian langsung menyerahkan diri ke Polsek Cikarang Barat. Di depan polisi, Jayadi selalu dihantui bayang-bayang korban. Jayadi pun merasa menyesal dan berdosa karena tega membunuh rekannya itu.

"Saya mau menebus dosa. Saya selalu dihantui rasa takut," kata Jayadi sambil menunduk lesu.

horornya masa lalu bapak ku



Ini adalah salah satu cerita yang berjudul asli "Cerita Seram Bapak ku (@trionly)"
Mohon disimak dengan baik. sebelumnya saya ingatkan bagi anda yang penakut jangan baca!!
Minggu lalu diceritain bapakku ttg ini.

Kisahnya jaman dulu bgt, sekitar thn 70an, aku blm lahir. Ceritanya bapakku masih bujang, dari desa di malang selatan hijrah ke kota malang.

Siang hari bpk jd mandor di pabrik sendal en kos di dekat pabrik. Tepaytnya di belakang gereja belanda di kawasan Celaket kota malang. Gereja itu smpe skrg masih ada, sebagian lahannya dibuat tk,sd,smp,smk,sma katholik tertkenal di malang.

Nah yg punya tmpat kos itu pegawe di gereja itu. Karena satpam yg jaga malam abis resign, bapakku ditawarin jaga malam, lumayan bwt tmbah2 jajan.

Bapakku mau dan dimulailah jaga bangunan yg super gede itu sendirian! Bangunannya tinggi gede model belanda. En waktu itu beberapa suster dan romo jg ada yg belanda asli.

Malam itu bapakku udah ngantuk bgt katanya, maklum g pernah jaga malem. Rencananya mau tidur aja karena udah jam 2 pagi. Sebelum tidur dia pastikan pintu gerbang yg misahin gereja ma asrama suster udah terkunci.

Pas mau ngecek gembok, eh ada suster belanda lewat. Diikutin ma bapak, mksudnya biar bs bukain gerbang en sekalian ngunci.

Diikutinlah suster itu dr belakang, tp dasar sustet belanda jalannya kenceng banget, pikir bapak. Pas udah mentok di gerbang, eh susternya udah g kelihatan. Bpk cpt2 priksa gembok, terkunci! Tolah toleh cm ada pohon cemara tinggi2. Nah lo kemana si suster yah…

Agak merinding bapak kembali ke posnya.

Hari kedua jaga, bapak udah gak enak aja perasaannya. Pas udah lewat tengah malam, bpk mulai keliling lg utk memastikan keadaan aman. Dan mmg aman gak ada apa2, bpk pun mutusin tidur krn besok harus ke pabrik.

Baru tidur2 ayam, eh ada yg bangunin. Ternyata si romo belanda. Badan bapak digoyang2 dan dibilang suruh ngecek pager tengah. Bpk pun bergegas ngikutin romo ke bangunan tengah, tmpat ktemu suster semalem. Disitu ternyata bener gembok terbuka, pdhal seingat bpk sih udah dikunci tadi. Setelah ngunci bpk nyari romo yang tadi. Eh, dia udah ilang aja. Merinding lg bapakku dan bergegas balik ke pos depan.

Malam ketiga bapak udah bete aja. Bpk yakin yg dia lihat dua malam sebelumnya adaah hantu. bapak yakin krn halaman belakng gereja itu, tmpat suster en romo ngilang mmg kuburan jaman belanda bwt suster en romo di masa lalu.

Pas lewat tengah malam bapak keliling lagi mutetrin area gereja. Tiba2 ada suara anjing menggeram. Pas ditoleh ada anjing guede. Bapakku emang takut anjing, smpe sekrang malah. Bapak udah mepek tembok, dibelakangnya udah batu nisan kuburan suster, si anjing menyalak keras month nerkam bapak.

Bapak udah hElpless bgt. Dia pikir dia psti mati malam itu diterkam anjing. Bpk pikir itu anjing punya romo yg biasa nemenin romo jalan2, tp gak tau kok bisa lepas malam2.

Bpk udah merem aja en pasrah hidupnya berakhir malam itu. Saat itu si anjing menyalak keras en melompat ke arah bapak..

Sekejap hening, bapak g tau apa yg terjadi. Bapak terjengkang di atas nisan en anjing itu raib!

Paginya, bapak nemuin yg punya kos en blg gk sanggup lg jaga malam. Bpk ceritain semua kejadian 3 malam berturut2 kemaren.

Usut pnya usut mmg Ada anjing romo jaman belanda dulu yg jg dikubur di area makam suster di bagian belakang gereja itu.

Fyi, smpe sekarang jalan kampung yg letaknya di blkang gereja itu msih serem kalo malem. Mana lampu minim bgt… Dan makam kuno itu jg msh ada, tertutup tembok tinggi gereja dan rimbun pohon cemara.