Senin, 05 Mei 2014

Misteri Si Cantik Penunggu Rumah Sakit

Antara sadar dan tidak aku melihat seorang wanita muda muncul di balik pintu zal B. Wajahnya sangat pucat. Tiba-tiba saja dia menggandeng tanganku. Aku serasa seperti di hipnotis, ajakan perempuan misterius itu aku layani. Badanku terasa ringan. Ringan sekali. Layaknya kapuk yang kena angin!

Akupun terbang ke sana kemari. Namun, anehnya aku diajak melihat semua perilaku saudara-saudaraku. Tetanggaku. Pacarku. Dan semua teman-temanku. Tapi saat kusapa, semua tak acuh padaku. Sebenarnya aku merasa bosan.

Sejak ayahku sakit dan dirawat di RSU Purwokerto, tiap malam dapat jatah ronda. Sebagai anak mbarep, tentu saja tugas itu jelas menjadi bebanku.

Tapi sekali lagi aku merasa bosan. Namun kalau tidak, aku juga merasa kasihan ibuku yang sudah tua sendirian menjaga ayah yang terbaring lemah di bangsal perawatan.

Sementara, aku menyuruh adik-adikku jaga, jelas bukan satu pilihan terbaik. Sebab kedua adikku masih sekolah. Aku jelas tak tega kalau mereka terpaksakan jaga malam. Pasti saat mengikuti pelajaran bisa tertidur di kelas. Kedua adikku hanya ku beri kesempatan berjaga hanya malam minggu saja. Sampai suatu ketika aku berangkat menuju rumah sakit tempat ayahku dirawat, diiringi turun rintik-rintik.

Malam itu suasana Jalan Ahmad Yani begitu sepi. Tak banyak orang yang terlihat di jalan menuju rumah sakit lama. Paling hanya beberapa tukang becak yang duduk-duduk di jok penumpang. Mereka klepas-klepus menghirup rokok klembak menyan.

Beberapa pedagang yang mangkal di mulut pintu keluar RSU peninggalan jaman Belanda itu juga sudah menutup kios-kiosnya. Sepanjang jalan kulit tubuhku terasa seperti dibalut es. Dinginnya luar biasa. Bahkan tulang-tulang igaku terasa kram menahan dingin. Bibir bawahku aku gigit kuat-kuat. Ini sengaja aku lakukan untuk mengusir rasa dingin yang membekukan itu.

Selama berjalan menuju rumah sakit itu, wajah ayahku selalu muncul di pelupuk mata. Matanya yang semakin sayu seakan-akan tak bisa lekang dari pikiranku. Aku sangat bangga dengan ayahku. Meski, penghasilannya pas-pasan namun dia tak menginginkan anaknya jadi pecundang. Dia berharap agar anak keturunannya jangan ada yang mewarisi kemiskinannya.

Maka dengan susah payah, aku dan adik-adikku dibiayai sekolah hingga tamat SMA. Barangkali itulah kebanggaan yang bisa aku rasakan saat ini. Andai saja ayah membiarkan kami tak sekolah entah apa jadinya aku dan adik-adikku saat ini. Banyak contoh yang kupetik dari beberapa temanku yang hanya mengenyam pendidikan SD.

Kehidupannya sampai sekarang juga hanya itu-itu saja. Wajah ayah kembali muncul dalam benak. Sakit ayahku cukup parah. Dia menderita pembengkakan kelenjar prostat. Atas saran dokter yang menangani, jalan satu-satunya adalah operasi. Awalnya, ayah menolak untuk dioperasi. Dia merasa kebingungan soal biayanya yang mencekik leher. Namun, aku tetap bersikeras agar dia mau untuk menjalaninya.

Sebab, hanya itu salah satu jalan paling baik. “Sudahlah Yah! Soal biaya jangan dipikir. Saya sanggup mencari biaya itu. Yang penting penyakit Ayah sembuh,” kataku. “Tapi biaya operasi itu sangat tinggi ongkosnya. Darimana nanti kamu dapat uang? Sementara kita sendiri sudah tidak punya apa-apa. Paling-paling hanya tinggal rumah yang kita tempati,” ujar ayah sembari meneteskan air mata.

Aku terharu melihat kelopak mata ayahku basah. Saya juga bingung, harus mencari uang darimana untuk menutup ongkos operasi yang jumlahnya saat itu mencapai sekitar setengah juta. Jumlah yang sangat besar bagi ukuran keluarga miskin seperti aku.

“Sudahlah Yah. Jangan pikirkan soal itu lagi. Insya Allah, Tuhan akan memberi kita rejeki. Yang penting kita sama-sama berdoa. Mohon kebijakannya. Mohon Yang di Atas meneteskan rejeki. Saya yakin nanti pasti ada jalan ke luarnya,” kataku sambil menggenggam tangan ayah yang makin keriput.

Malam makin larut, aku masih terjaga sendiri. Pintu sal tempat ayahku terbaring tiba-tiba terbuka. Bau wangi menyengat hidung. Antara sadar dan tidak, aku melihat ada sebuah bayangan muncul. Setelah kutatap ternyata seorang wanita. Parasnya cukup cantik. Badannya tinggi semampai. Pakainya putih-putih. Makanya aku mengira perempuan itu perawat jaga.

Dia menatapku dengan pandangan sangat tajam. Namun di balik ketajaman matanya, aku tahu kalau wanita misterius itu menaruh belas kasihan padaku. Saya paham benar dengan tatapan model wanita. Tak ada napsu birahi yang terpancar dari sorot matanya. Tiba-tiba saja, tangan kanannya diangkat. Bibirnya yang tipis terkembang. Ada senyum terlontar. Dingin.

Tapi sangat memikat. Kembali bibirnya ditarik ke belakang. Tarikan bibirnya yang sangat sensual itu menimbulkan pipinya dekik. Giginya yang putih tertata rapi. Saat kutatap, ia membuang wajahnya. Layaknya seorang wanita pemalu. Lalu melangkah menjauhi pintu. Rasanya seperti mimpi. Kulit tanganku kucubit. Namun, tetap terasa. Artinya aku dalam keadaan tersadar. Aku benar-benar getun (kecewa). Mengapa, aku tak mendekatinya. Aku menyalahkan sikapku. Aku benar-benar goblok! Bukankah wanita seperti itu yang jadi idaman?

Saat menatap bayangan sesesok wanita cantik aku seakan-akan berada di bawah sadar. Antara sadar dan tidak. Dari sisa-sisa kesadaranku mencoba bangkit untuk lebih dekat mengamatinya. Niatku mengejar wanita misterius itu. Namun, ketika aku keluar dari ruang sal, ternyata di luar sepi. Tidak ada seorang pun di teras itu. Kalau pun dia perawat, paling tidak masih terdengar derap suara sepatunya.

Sedang kamar-lamar lain yang di deretan sal ayahku dirawat pintunya tertutup. Mataku menatap tajam lorong rumah sakit itu. Sepi. Hanya angin malam yang perlahan-lahan berhembus. Aku menutup kedua telingaku yang kedinginan. Kembali mataku menyapu sudut-sudut bangsal.

Di bangsal utara hanya ada dua orang laki-laki yang lagi asyik merokok. Kulangkahkan kaki mendekati keduanya. Akupun berkenalan dengan kedua bapak itu. Makanya aku tahu, kalau kedua bapak yang usianya setengah baya itu asalnya dari Bukateja, Purwokerta. Mereka tengah menunggu anaknya yang sakit karena salah obat. Lalu, aku pura-pura menanyakan wanita yang melintas di depan bangsal tempat ayahku dirawat.

Lah, kapan wonten wong wadon mlampah ? Kula kewit wau njagong teng ngriki lho. Mboten onten tiyang sing nglepat (Lah, kapan ada orang wanita jalan? Saya sejak tadi duduk di sini lho. Tidak ada orang yang berkelebat, red),” jawab Pak Mitro.

Rasukane kados perawat kok Pak. Klambine rok terusan putih. Wong mangkin niki nembe mawon mbikak lawang bangsal ngriku koh Pak (Pakaiannya seperti perawat kok Pak. Baju rok terusan putih, Orangnya barusan membuka pintu bangsal situ kok Pak, red)?,” kataku sambil tangaku menunjuk bangsal tempat ayahku dirawat. “Lah aja-aja medi wadon (jangan-jangan hantu wanita, red)!” seru Pak Darwin dengan nada suara agak bergetar.

Aku hanya tersenyum. Tak percaya dengan omongan laki-laki berkumis putih itu. Kemudian, akhirnya pembicaran kami topiknya tentang hantu. Kata Pak Mitro, di lokasi rumah sakit memang sering muncul hantu. Di rumah sakit manapun pasti ada lelembut yang menggoda. Aku hanya tertawa-tawa ketika kedua orang itu asyik bercerita soal mahluk halus.

Jam tangan yang kukenakan menunjukkan pukul 01.00. Angin yang berhembus begitu dingin. Aku bangkit dari kerumuman mereka. Aku pamit akan kembali ke sal tempat ayahku terbaring. Pak Mitro kembali mengingatkan agar aku hati-hati. “ Awas lho Mas. Demite mesthi tesih ndelengna sampeyan. Mulane ngati-ati baen. Siapa tahu nanti situ diajak dolan-dolan,” selorohnya. Aku hanya tertawa mendengar celotehannya.

Begitu kakiku mendekati bangsal tempat ayahku terbaring, tiba-tiba saja bulu kuduku merinding. Terasa ada angin yang teramat dingin berembus di leherku. Tengkuku kuusap dengan tangan kananku. Tiba-tiba saja hidungku mencium wewangian yang sangat harum. Baunya benar-benar menusuk indra penciumanku. Ketika mataku menatap pintu utama bangsal yang ada di sebelah barat, sekelebat ada bayangan seorang wanita.

Wajahnya benar-benar cantik. Parasnya sangat elok. Aku hapal benar dengan wajah itu. “Bukankah itu wanita tadi yang membuka pintu kamar?" Batinku terus menatap ke arah wanita misterius itu. Perempuan itu tampaknya tahu benar apa yang aku ucapkan dalam batin. Dia tersenyum. Manis. Manis sekali. Tatapannya begitu menggoda. Mataku tak berkedip melihat wajahnya.

Pelan-pelan dia mengangguk pelan. Begitu aku tersenyum, tangan kanannya dilambaikan. Akupun membalas lambaiannya. Tapi, ketika aku mencoba mendekati, wanita misterius itu melangkah, membuka pintu. Sebelum menghilang dari balik daun pintu, kepalanya didongakan. Seolah-olah tengah mengejekku.

Aku menghela nafas. Aku membatalkan langkah. Kutatap lagi wajahnya. Dia kembali melempar senyum yang penuh arti. Yang bikin batinku panas dingin, tiba-tiba saja dia mengedipkan mata kirinya. Siapa lelaki yang tak paham kode seperti itu. Lelaki mana yang tahan dengan gestur tubuh yang dilayangkan perempuan kayak gini. Panas-dingin rasanya bercampur jadi satu. Aku hanya bisa menggigit bibir.

Aku mencoba menarik resleting jaketku ke atas hingga menutup bagian leherku. Tetapi, meski sudah kuupayakan menutup pori-pori tubuhku, namun, tetap saja masih terasa dingin. Yang aneh, setiap kakiku melangkah, terasa ada seseorang yang mengikuti langkah kakiku. Tapi, ketika aku toleh tak ada seorangpun yang tampak.

Begitu sampai di pintu gerbang, kulihat pak satpam tengah memicingkan matanya. Lehernya dibalut handuk kecil untuk mengusir hawa dingin. Pelan-pelan kubangunkan. “Pak. Tolong pintunya dibuka? Saya mau pulang?” ujarku. “ Lho. lho masih malam begitu koh mau pulang. Apa berani, Mas? Awas lho nanti ada yang mbuntutin,” guraunya. Aku cuma tertawa. Selepas dari areal rumah sakit aku makin penasaran dengan perasaanku.

Tiba-tiba mataku melihat ada sesosok wanita tengah berdiri dekat pohon beringin yang tumbuh subur di sebelah barat RS. Beruntung untuk menuju rumah aku harus lewat trotoar tempat perempuan itu berdiri.

Ketika sudah dekat kutatap wajahnya. Duh cantiknya. Wanita itu ternyata berkulit putih.

Lho kok Setelah dekat dia kemudian mengulurkan tangannya,” kataku membatin. “Namaku Inggit Mas. Lengkapnya Inggit Kumara Sari. Kalau Mas tidak keberatan, mari pulang bareng. Rumahku nggak jauh kok!” ujarnya dengan nada manja.

Tiba-tiba saja Inggit langsung menggandeng lenganku. Mesra sekali. Dan anehknya aku menuruti saja. Lantas, badanku terasa begitu ringan. Seperti cerita sinetron aku langsung melayang. Terbang bersama gadis cantik itu. Entah di mana rasanya. Antara sadar dan tidak aku sampai di sebuah rumah yang sangat bagus.

Rumah bercat hijau muda itu tak dikunci.

Kami langsung masuk ruang dalam yang tertata rapi. Tanpa sepatah kata, Inggit meninggalkanku yang terbengong di atas sofa. Dia masuk ke dalam kamarnya yang ketika dibuka baunya sangat harum. Keharuman aroma itu membuat kelaki-lakianku bangkit.

Saat perempuan itu keluar, hanya mengenakan pakaian tipis. Mata jalangku langsung menerawang menembus setiap pori-pori kulitnya yang langsat. Dia mendekati tempat dudukku. Entah bagaimana. Tangannya langsung merangkul pundak. Secepat kilat akupun tak menyia-nyiakan kesempatan. Bibir kami langsung saling bertaut. Rasanya nikmat sekali. Aku benar-benar dibawa melayang ke atas awan.

Semua perkakas kelaki-lakianku sudah dinikmati. Tapi, tiba-tiba saja Inggit menghentikan serangannya. Seperti ada penyesalan. Sesaat itu, sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Antar sadar dan tidak, aku membuka mataku. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Entah berapa jam aku terlelap di ‘rumah Inggit’. Kalau saja tak ada suara orang ramai mungkin aku tak terbangun. Setengah sadar, aku mendengar celotehan puluhan manusia. Namun aku sendiri tak melihatnya.
Wis cepet diduna (sudah sana diturunkan),” ujar seorang laki-laki kekar di bawah sana. “Jajal delengen sih, lah wonge wuda (coba lihat sih, lah orangnya telanjang),” seru yang lain. “Ih ora ngganggo kathok (ih tidak pakai celana),” tambah perempuan setengah tua sambil menutup matanya.
 “Ih jijihi temen. Thithite ondal-andel (ih benar-benar menjijikan, penisnya ondal-andel),” seru seorang anak usia SD menimpali. Ternyata aku berada di pohon beringin. Bukankah semalam aku diajak ke rumah Inggit. Aku langsung pingsan. Tak ingat apa-apa lagi. Antara malu dan bingung campur jadi satu.
(Cerita kiriman Tono, Purwokerto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar