Antara
sadar dan tidak aku melihat seorang wanita muda muncul di balik pintu
zal B. Wajahnya sangat pucat. Tiba-tiba saja dia menggandeng tanganku.
Aku serasa seperti di hipnotis, ajakan perempuan misterius itu aku
layani. Badanku terasa ringan. Ringan sekali. Layaknya kapuk yang kena
angin!
Akupun terbang ke sana kemari. Namun, anehnya aku diajak
melihat semua perilaku saudara-saudaraku. Tetanggaku. Pacarku. Dan
semua teman-temanku. Tapi saat kusapa, semua tak acuh padaku.
Sebenarnya aku merasa bosan.
Sejak ayahku sakit dan dirawat di
RSU Purwokerto, tiap malam dapat jatah ronda. Sebagai anak mbarep,
tentu saja tugas itu jelas menjadi bebanku.
Tapi sekali lagi aku
merasa bosan. Namun kalau tidak, aku juga merasa kasihan ibuku yang
sudah tua sendirian menjaga ayah yang terbaring lemah di bangsal
perawatan.
Sementara, aku menyuruh adik-adikku jaga, jelas bukan
satu pilihan terbaik. Sebab kedua adikku masih sekolah. Aku jelas tak
tega kalau mereka terpaksakan jaga malam. Pasti saat mengikuti
pelajaran bisa tertidur di kelas. Kedua adikku hanya ku beri kesempatan
berjaga hanya malam minggu saja. Sampai suatu ketika aku berangkat
menuju rumah sakit tempat ayahku dirawat, diiringi turun rintik-rintik.
Malam
itu suasana Jalan Ahmad Yani begitu sepi. Tak banyak orang yang
terlihat di jalan menuju rumah sakit lama. Paling hanya beberapa tukang
becak yang duduk-duduk di jok penumpang. Mereka klepas-klepus menghirup
rokok klembak menyan.
Beberapa pedagang yang mangkal di mulut
pintu keluar RSU peninggalan jaman Belanda itu juga sudah menutup
kios-kiosnya. Sepanjang jalan kulit tubuhku terasa seperti dibalut es.
Dinginnya luar biasa. Bahkan tulang-tulang igaku terasa kram menahan
dingin. Bibir bawahku aku gigit kuat-kuat. Ini sengaja aku lakukan
untuk mengusir rasa dingin yang membekukan itu.
Selama berjalan
menuju rumah sakit itu, wajah ayahku selalu muncul di pelupuk mata.
Matanya yang semakin sayu seakan-akan tak bisa lekang dari pikiranku.
Aku sangat bangga dengan ayahku. Meski, penghasilannya pas-pasan namun
dia tak menginginkan anaknya jadi pecundang. Dia berharap agar anak
keturunannya jangan ada yang mewarisi kemiskinannya.
Maka dengan
susah payah, aku dan adik-adikku dibiayai sekolah hingga tamat SMA.
Barangkali itulah kebanggaan yang bisa aku rasakan saat ini. Andai saja
ayah membiarkan kami tak sekolah entah apa jadinya aku dan adik-adikku
saat ini. Banyak contoh yang kupetik dari beberapa temanku yang hanya
mengenyam pendidikan SD.
Kehidupannya sampai sekarang juga hanya
itu-itu saja. Wajah ayah kembali muncul dalam benak. Sakit ayahku cukup
parah. Dia menderita pembengkakan kelenjar prostat. Atas saran dokter
yang menangani, jalan satu-satunya adalah operasi. Awalnya, ayah
menolak untuk dioperasi. Dia merasa kebingungan soal biayanya yang
mencekik leher. Namun, aku tetap bersikeras agar dia mau untuk
menjalaninya.
Sebab, hanya itu salah satu jalan paling baik.
“Sudahlah Yah! Soal biaya jangan dipikir. Saya sanggup mencari biaya
itu. Yang penting penyakit Ayah sembuh,” kataku. “Tapi biaya operasi
itu sangat tinggi ongkosnya. Darimana nanti kamu dapat uang? Sementara
kita sendiri sudah tidak punya apa-apa. Paling-paling hanya tinggal
rumah yang kita tempati,” ujar ayah sembari meneteskan air mata.
Aku
terharu melihat kelopak mata ayahku basah. Saya juga bingung, harus
mencari uang darimana untuk menutup ongkos operasi yang jumlahnya saat
itu mencapai sekitar setengah juta. Jumlah yang sangat besar bagi ukuran
keluarga miskin seperti aku.
“Sudahlah Yah. Jangan pikirkan soal
itu lagi. Insya Allah, Tuhan akan memberi kita rejeki. Yang penting
kita sama-sama berdoa. Mohon kebijakannya. Mohon Yang di Atas
meneteskan rejeki. Saya yakin nanti pasti ada jalan ke luarnya,” kataku
sambil menggenggam tangan ayah yang makin keriput.
Malam
makin larut, aku masih terjaga sendiri. Pintu sal tempat ayahku
terbaring tiba-tiba terbuka. Bau wangi menyengat hidung. Antara sadar
dan tidak, aku melihat ada sebuah bayangan muncul. Setelah kutatap
ternyata seorang wanita. Parasnya cukup cantik. Badannya tinggi
semampai. Pakainya putih-putih. Makanya aku mengira perempuan itu
perawat jaga.
Dia menatapku dengan pandangan sangat tajam. Namun
di balik ketajaman matanya, aku tahu kalau wanita misterius itu menaruh
belas kasihan padaku. Saya paham benar dengan tatapan model wanita.
Tak ada napsu birahi yang terpancar dari sorot matanya. Tiba-tiba saja,
tangan kanannya diangkat. Bibirnya yang tipis terkembang. Ada senyum
terlontar. Dingin.
Tapi sangat memikat. Kembali bibirnya ditarik
ke belakang. Tarikan bibirnya yang sangat sensual itu menimbulkan
pipinya dekik. Giginya yang putih tertata rapi. Saat kutatap, ia
membuang wajahnya. Layaknya seorang wanita pemalu. Lalu melangkah
menjauhi pintu. Rasanya seperti mimpi. Kulit tanganku kucubit. Namun,
tetap terasa. Artinya aku dalam keadaan tersadar. Aku benar-benar getun
(kecewa). Mengapa, aku tak mendekatinya. Aku menyalahkan sikapku. Aku
benar-benar goblok! Bukankah wanita seperti itu yang jadi idaman?
Saat
menatap bayangan sesesok wanita cantik aku seakan-akan berada di bawah
sadar. Antara sadar dan tidak. Dari sisa-sisa kesadaranku mencoba
bangkit untuk lebih dekat mengamatinya. Niatku mengejar wanita misterius
itu. Namun, ketika aku keluar dari ruang sal, ternyata di luar sepi.
Tidak ada seorang pun di teras itu. Kalau pun dia perawat, paling tidak
masih terdengar derap suara sepatunya.
Sedang kamar-lamar lain
yang di deretan sal ayahku dirawat pintunya tertutup. Mataku menatap
tajam lorong rumah sakit itu. Sepi. Hanya angin malam yang
perlahan-lahan berhembus. Aku menutup kedua telingaku yang kedinginan.
Kembali mataku menyapu sudut-sudut bangsal.
Di bangsal utara hanya
ada dua orang laki-laki yang lagi asyik merokok. Kulangkahkan kaki
mendekati keduanya. Akupun berkenalan dengan kedua bapak itu. Makanya
aku tahu, kalau kedua bapak yang usianya setengah baya itu asalnya dari
Bukateja, Purwokerta. Mereka tengah menunggu anaknya yang sakit karena
salah obat. Lalu, aku pura-pura menanyakan wanita yang melintas di
depan bangsal tempat ayahku dirawat.
“Lah, kapan wonten wong wadon mlampah ? Kula kewit wau njagong teng ngriki lho. Mboten onten tiyang sing nglepat (Lah, kapan ada orang wanita jalan? Saya sejak tadi duduk di sini lho. Tidak ada orang yang berkelebat, red),” jawab Pak Mitro.
“Rasukane kados perawat kok Pak. Klambine rok terusan putih. Wong mangkin niki nembe mawon mbikak lawang bangsal ngriku koh Pak
(Pakaiannya seperti perawat kok Pak. Baju rok terusan putih, Orangnya
barusan membuka pintu bangsal situ kok Pak, red)?,” kataku sambil
tangaku menunjuk bangsal tempat ayahku dirawat. “Lah aja-aja medi wadon (jangan-jangan hantu wanita, red)!” seru Pak Darwin dengan nada suara agak bergetar.
Aku
hanya tersenyum. Tak percaya dengan omongan laki-laki berkumis putih
itu. Kemudian, akhirnya pembicaran kami topiknya tentang hantu. Kata
Pak Mitro, di lokasi rumah sakit memang sering muncul hantu. Di rumah
sakit manapun pasti ada lelembut yang menggoda. Aku hanya tertawa-tawa
ketika kedua orang itu asyik bercerita soal mahluk halus.
Jam
tangan yang kukenakan menunjukkan pukul 01.00. Angin yang berhembus
begitu dingin. Aku bangkit dari kerumuman mereka. Aku pamit akan
kembali ke sal tempat ayahku terbaring. Pak Mitro kembali mengingatkan
agar aku hati-hati. “ Awas lho Mas. Demite mesthi tesih ndelengna
sampeyan. Mulane ngati-ati baen. Siapa tahu nanti situ diajak
dolan-dolan,” selorohnya. Aku hanya tertawa mendengar celotehannya.
Begitu
kakiku mendekati bangsal tempat ayahku terbaring, tiba-tiba saja bulu
kuduku merinding. Terasa ada angin yang teramat dingin berembus di
leherku. Tengkuku kuusap dengan tangan kananku. Tiba-tiba saja hidungku
mencium wewangian yang sangat harum. Baunya benar-benar menusuk indra
penciumanku. Ketika mataku menatap pintu utama bangsal yang ada di
sebelah barat, sekelebat ada bayangan seorang wanita.
Wajahnya
benar-benar cantik. Parasnya sangat elok. Aku hapal benar dengan wajah
itu. “Bukankah itu wanita tadi yang membuka pintu kamar?" Batinku
terus menatap ke arah wanita misterius itu. Perempuan itu tampaknya
tahu benar apa yang aku ucapkan dalam batin. Dia tersenyum. Manis.
Manis sekali. Tatapannya begitu menggoda. Mataku tak berkedip melihat
wajahnya.
Pelan-pelan dia mengangguk pelan. Begitu aku tersenyum,
tangan kanannya dilambaikan. Akupun membalas lambaiannya. Tapi, ketika
aku mencoba mendekati, wanita misterius itu melangkah, membuka pintu.
Sebelum menghilang dari balik daun pintu, kepalanya didongakan.
Seolah-olah tengah mengejekku.
Aku menghela nafas. Aku
membatalkan langkah. Kutatap lagi wajahnya. Dia kembali melempar senyum
yang penuh arti. Yang bikin batinku panas dingin, tiba-tiba saja dia
mengedipkan mata kirinya. Siapa lelaki yang tak paham kode seperti itu.
Lelaki mana yang tahan dengan gestur tubuh yang dilayangkan perempuan
kayak gini. Panas-dingin rasanya bercampur jadi satu. Aku hanya bisa
menggigit bibir.
Aku mencoba menarik resleting jaketku ke atas
hingga menutup bagian leherku. Tetapi, meski sudah kuupayakan menutup
pori-pori tubuhku, namun, tetap saja masih terasa dingin. Yang aneh,
setiap kakiku melangkah, terasa ada seseorang yang mengikuti langkah
kakiku. Tapi, ketika aku toleh tak ada seorangpun yang tampak.
Begitu
sampai di pintu gerbang, kulihat pak satpam tengah memicingkan
matanya. Lehernya dibalut handuk kecil untuk mengusir hawa dingin.
Pelan-pelan kubangunkan. “Pak. Tolong pintunya dibuka? Saya mau pulang?”
ujarku. “ Lho. lho masih malam begitu koh mau pulang. Apa berani, Mas?
Awas lho nanti ada yang mbuntutin,” guraunya. Aku cuma tertawa.
Selepas dari areal rumah sakit aku makin penasaran dengan perasaanku.
Tiba-tiba mataku melihat ada sesosok wanita tengah berdiri dekat pohon beringin yang tumbuh subur di sebelah barat RS. Beruntung untuk menuju rumah aku harus lewat trotoar tempat perempuan itu berdiri.
Ketika sudah dekat kutatap wajahnya. Duh cantiknya. Wanita itu ternyata berkulit putih.
“Lho kok Setelah dekat dia kemudian mengulurkan tangannya,” kataku membatin. “Namaku Inggit Mas. Lengkapnya Inggit Kumara Sari. Kalau Mas tidak keberatan, mari pulang bareng. Rumahku nggak jauh kok!” ujarnya dengan nada manja.
Tiba-tiba saja Inggit langsung menggandeng lenganku. Mesra sekali. Dan anehknya aku menuruti saja. Lantas, badanku terasa begitu ringan. Seperti cerita sinetron aku langsung melayang. Terbang bersama gadis cantik itu. Entah di mana rasanya. Antara sadar dan tidak aku sampai di sebuah rumah yang sangat bagus.
Rumah bercat hijau muda itu tak dikunci.
Kami langsung masuk ruang dalam yang tertata rapi. Tanpa sepatah kata, Inggit meninggalkanku yang terbengong di atas sofa. Dia masuk ke dalam kamarnya yang ketika dibuka baunya sangat harum. Keharuman aroma itu membuat kelaki-lakianku bangkit.
Saat perempuan itu keluar, hanya mengenakan pakaian tipis. Mata jalangku langsung menerawang menembus setiap pori-pori kulitnya yang langsat. Dia mendekati tempat dudukku. Entah bagaimana. Tangannya langsung merangkul pundak. Secepat kilat akupun tak menyia-nyiakan kesempatan. Bibir kami langsung saling bertaut. Rasanya nikmat sekali. Aku benar-benar dibawa melayang ke atas awan.
Semua perkakas kelaki-lakianku sudah dinikmati. Tapi, tiba-tiba saja Inggit menghentikan serangannya. Seperti ada penyesalan. Sesaat itu, sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Antar sadar dan tidak, aku membuka mataku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa jam aku terlelap di ‘rumah Inggit’. Kalau saja tak ada suara orang ramai mungkin aku tak terbangun. Setengah sadar, aku mendengar celotehan puluhan manusia. Namun aku sendiri tak melihatnya.
“Wis cepet diduna (sudah sana diturunkan),” ujar seorang laki-laki kekar di bawah sana. “Jajal delengen sih, lah wonge wuda (coba lihat sih, lah orangnya telanjang),” seru yang lain. “Ih ora ngganggo kathok (ih tidak pakai celana),” tambah perempuan setengah tua sambil menutup matanya.
“Ih jijihi temen. Thithite ondal-andel (ih benar-benar menjijikan, penisnya ondal-andel),” seru seorang anak usia SD menimpali. Ternyata aku berada di pohon beringin. Bukankah semalam aku diajak ke rumah Inggit. Aku langsung pingsan. Tak ingat apa-apa lagi. Antara malu dan bingung campur jadi satu.
(Cerita kiriman Tono, Purwokerto)
Tiba-tiba mataku melihat ada sesosok wanita tengah berdiri dekat pohon beringin yang tumbuh subur di sebelah barat RS. Beruntung untuk menuju rumah aku harus lewat trotoar tempat perempuan itu berdiri.
Ketika sudah dekat kutatap wajahnya. Duh cantiknya. Wanita itu ternyata berkulit putih.
“Lho kok Setelah dekat dia kemudian mengulurkan tangannya,” kataku membatin. “Namaku Inggit Mas. Lengkapnya Inggit Kumara Sari. Kalau Mas tidak keberatan, mari pulang bareng. Rumahku nggak jauh kok!” ujarnya dengan nada manja.
Tiba-tiba saja Inggit langsung menggandeng lenganku. Mesra sekali. Dan anehknya aku menuruti saja. Lantas, badanku terasa begitu ringan. Seperti cerita sinetron aku langsung melayang. Terbang bersama gadis cantik itu. Entah di mana rasanya. Antara sadar dan tidak aku sampai di sebuah rumah yang sangat bagus.
Rumah bercat hijau muda itu tak dikunci.
Kami langsung masuk ruang dalam yang tertata rapi. Tanpa sepatah kata, Inggit meninggalkanku yang terbengong di atas sofa. Dia masuk ke dalam kamarnya yang ketika dibuka baunya sangat harum. Keharuman aroma itu membuat kelaki-lakianku bangkit.
Saat perempuan itu keluar, hanya mengenakan pakaian tipis. Mata jalangku langsung menerawang menembus setiap pori-pori kulitnya yang langsat. Dia mendekati tempat dudukku. Entah bagaimana. Tangannya langsung merangkul pundak. Secepat kilat akupun tak menyia-nyiakan kesempatan. Bibir kami langsung saling bertaut. Rasanya nikmat sekali. Aku benar-benar dibawa melayang ke atas awan.
Semua perkakas kelaki-lakianku sudah dinikmati. Tapi, tiba-tiba saja Inggit menghentikan serangannya. Seperti ada penyesalan. Sesaat itu, sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Antar sadar dan tidak, aku membuka mataku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa jam aku terlelap di ‘rumah Inggit’. Kalau saja tak ada suara orang ramai mungkin aku tak terbangun. Setengah sadar, aku mendengar celotehan puluhan manusia. Namun aku sendiri tak melihatnya.
“Wis cepet diduna (sudah sana diturunkan),” ujar seorang laki-laki kekar di bawah sana. “Jajal delengen sih, lah wonge wuda (coba lihat sih, lah orangnya telanjang),” seru yang lain. “Ih ora ngganggo kathok (ih tidak pakai celana),” tambah perempuan setengah tua sambil menutup matanya.
“Ih jijihi temen. Thithite ondal-andel (ih benar-benar menjijikan, penisnya ondal-andel),” seru seorang anak usia SD menimpali. Ternyata aku berada di pohon beringin. Bukankah semalam aku diajak ke rumah Inggit. Aku langsung pingsan. Tak ingat apa-apa lagi. Antara malu dan bingung campur jadi satu.
(Cerita kiriman Tono, Purwokerto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar