Sabtu, 03 Mei 2014

Hidupku Bahagia Bersama Lelaki Berbeda Dunia (Part 1)

Hidup…
Dalam kehidupan ini tidak ada yang pernah sempurna, selalu diselingi dengan masalah-masalah yang membuat semua orang hampir gila. Manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, dan dari situlah kita dapat mengetahui sifat manusia yang baik dan yang buruk. Kehidupan yang aku miliki saat ini mungkin sudah pernah dialami oleh orang lain selain aku. Kehidupan bernuansa gelap dan kelam. Kehidupan yang mungkin setiap orang tidak ingin alami. Karena kehidupan yang aku jalani penuh dengan kesunyian dan ketidakadilan yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Kehidupan kelam yang sudah mereka berikan kepadaku sejak aku berumur 13 tahun, dan saat itu aku masih duduk di bangku SMP.

Aku menjalani hidup diiringi dengan cercaan dan hinaan dari orang-orang yang ada di sekolahku. Tapi dengan cercaan dan hinaan itulah aku dapat menjalani hidup dengan kuat dan tegar, mengingat Ayah dan Ibuku bercerai karena kesalahan yang mereka perbuat sendiri. Ya! Orangtuaku bercerai karena perbuatan mereka sendiri. Aku terlahir sebagai seorang anak dari pemilik perusahaan yang jaya dan besar. Tetapi bukan berarti keadaan tersebut membuatku bahagia. Aku tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuaku. Ayahku selingkuh dengan perempuan lain sedangkan Ibuku menganut ilmu gelap yang aku tidak tahu untuk apa. Tapi hal itu tidak membuatku mundur untuk melanjutkan pendidikan, selama ada orang yang masih menanggungku. Dan ternyata dengan bersungguh-sungguh sekolah, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku terkenal sebagai murid yang berprestasi, walaupun cercaan dan hinaan masih terus terdengar di telingaku. Dan pada saat aku mencicipi bangku kuliah, di situlah aku menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh seseorang baik hati dan dermawan. Seseorang yang mungkin membuat orang-orang terkejut jika mengetahui asal-usulnya.

Semarang, 10 Mei 2009
Pagi itu, seperti pagi-pagi biasa yang telah aku jalani. Bersiap-siap untuk pergi kuliah. Mandi dan berpakaian, memasukkan buku-buku penting untuk bahan kuliahku. Aku telah bersiap-siap dan menuruni tangga rumahku. Menuju dapur dan mencemot sepotong roti berisi selai strawberry yang telah kusiapkan. Lalu aku mulai naik kembali ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang sering digunakan Ibuku untuk bersemedi. Ya! Hak asuh anak jatuh ke tangan Ibuku dengan tipu daya yang ia perbuat, sehingga perasaan Hakim terlena oleh tipu daya tersebut.

Kubuka pintu ruangan besar itu, di dalam aku melihat Ibuku duduk bersila dengan mata terpejam. Seluruh ruangan sangat gelap. Sesajen ada di mana-mana, bau kemenyan mengharumi seluruh ruangan dengan baunya yang sangat menyengat. Aku sudah terbiasa dengan bau ini sejak kecil. Aku berjalan mendekati Ibu, terlihat wajah tua Ibuku yang sudah mulai mengeriput.
“Bu, Ai pergi dulu. Assallamualaikum.”

Karena tidak ada respon, aku beranjak dari ruangan itu.

“Aisyah! Belajarlah untuk mengetok terlebih dahulu!” Bentak Ibuku.

Aku tidak menoleh ke arah Ibuku, aku hanya berdiri membelakanginya di ambang pintu. Aku sudah terlalu sering dimarahi oleh Ibuku. Bahkan jika Ibu kesal, dia tidak segan-segan mengguna-gunaku dengan ilmu hitam yang ia miliki.
“Baik, Bu. Assallammu…” Belum habis aku bicara, Ibu sudah memotong.
“Jangan sekali-kali kamu ucapkan salam seperti itu! Kamu mau membuat Ibu lekas mati?!” Bentak Ibuku, lagi.
Rasa kesal dan marah muncul dalam hatiku. Kelakuan Ibu yang sudah jauh dari nalar, membuat diriku hampir dibisiki oleh setan. Tapi aku langsung menutup pintu ruangan sesat yang sering di gunakan Ibuku itu. Aku berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Suzuki Fortune. Beranjak pergi meninggalkan rumahku.

Universitas Hassanudin…
Aku memarkirkan mobilku di parkiran khusus untuk para mahasiswa. Orang-orang sudah banyak berlalu lalang di sekitar kampus. Ketika aku keluar dari mobil, orang-orang di sekitarku menatap ngeri terhadapku. Ya! Kehidupan yang diiringin dengan cercaan dan hinaan masih ada sampai aku mencicipi bangku kuliah. Seperti yang aku katakan, cercaan dan hinaan itu membuatku menjalani kehidupan dengan tegar dan kuat. Aku berjalan melewati orang-orang disertai dengan tatapan ngeri dari mereka. Mungkin karena raut wajahku ini dan penampilanku. Memang kulitku yang putih pucat dan rambutku yang panjang serta poni yang sudah mulai panjang tapi tetap kusisir ke arah depan sehingga memunculkan kesan seperti kuntilanak hidup yang sedang berjalan di hadapan mereka. Mungkin karena itulah mereka memberiku tatapan ngeri.

“Eh… eh. Lihat, itu Nur Aisyah. Hii… ngeri, ya? Kenapa sih, dia harus kuliah di sini? Seharusnya dia berkumpul dengan sebangsa setan.”
“Hush! Jangan bicara seenaknya, tidak baik. Kudengar dia itu anak seorang perusahaan besar. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut dan keluarganya pun berantakan.”
“Oh… ternyata begitu, tapi seharusnya dia tidak perlu berkelakuan seperti itu. Tapi… mungkin karena kejadian itu dia berubah.”
“Mungkin.”
Aku mendengarnya. Tapi tanpa kusadari, masih ada orang yang mengerti denganku. Walaupun aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sangat bersyukur.

Seperti biasa, kuliah di jurusan Ekonomi Marketing selalu banyak defenisi-defenisi dan hitungan. Aku yang sedang duduk manis memperhatikan Dosen Yuda yang tengah menjelaskan ‘Konsep Fisik Fundamental’. Kulihat di sekelilingku, wajah bosan terpampang dari sebagian orang-orang yang ada di dalam kelas ini. Dan aku heran.
“Hhh…” Kuhembuskan nafas berat.
Kenapa semua perempuan yang ada di kelas ini memberikan tatapan menawan kepada Dosen Yuda. Memang, Dosen Yuda adalah Dosen termuda yang ada di Universitas ini. Dan ia memiliki wajah yang dapat membuat setiap perempuan ingin menjadi pacarnya.

“Ya, Aisyah. Apakah kamu dapat menjelaskan tentang konsep yang satu ini?” Tanya Dosen Yuda.
Aku mulai berdiri, “Iya. Saya dapat menjelaskannya.”

Aku berjalan ke muka kelas, raut wajah semua perempuan yang tadinya sedang menikmati pesona Dosen Yuda berubah menjadi gersang.
“Haah… kenapa si kuntilanak ini yang menjelaskan?” Rengek salah satu perempuan.
“Iya. Pergi sana! Hush… hush…” Hina perempuan yang lain.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Aisyah, kamu dapat menggantikannya di depan sini. Bagaimana?” tanya Dosen Yuda sambil tersenyum.
“Errm… tidak usah, deh. Kamu saja yang menjelaskan, Aisyah.” Kata perempuan itu.
Aku hanya diam dan cuma mendengarkan hinaan yang mereka berikan. Tidak ada rasa kesal. Tapi aku malah tertawa geli dalam hati, melihat ekspresi perempuan tadi ketika dipersilahkan Dosen Yuda untuk menjelaskan.
“Ya, silahkan Aisyah.” Kata Dosen Yuda.
“Baiklah dalam konsep ini…”
Gelap…

Brrmm…
Suara mesin mobilku berderum keras memasuki halaman rumahku yang cukup besar. Ya! Rumah besar yang dulu kami huni kembali lagi ke tangan Ibuku setelah sekian lama disita. Aku tidak tahu, dengan cara apa Ibuku dapat merebut rumah ini kembali. Tapi aku tidak ingin menjadikan hal ini sebagai beban, lebih baik kusingkirkan terlebih dahulu. Aku berjalan menuju pintu besar rumahku, kubuka pintu bergaya mewah itu.
“Assallamualaikum…”
Tidak ada sahutan. Suara Ibuku tidak terdengar. Mungkin masih bersemedi. Pikirku.

Ketika masuk ke dalam rumah, aku terus merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Suasana berbeda dari rumahku, susasana aneh yang berbeda ketika aku meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus. Keadaan rumah sunyi, terlalu sunyi. Rasa panik dan khawatir mulai muncul di hatiku.
“Ibu…” Panggilku pada Ibu.
Tidak ada sahutan.
“Ibu…!” Panggilku lagi. Kali ini sedikit berteriak.
Masih tidak ada sahutan.
Refleks. Aku langsung berlari ke lantai atas, menuju pintu besar yang tak jauh dariku saat itu. Kuraih ganggang pintu. Dan cepat kubuka pintu besar itu. Terbuka!
“A… a…”
Mahluk apa itu?! Batinku.
Aku terkejut, tubuhku tak dapat kugerakkan. Berkali-kali aku bertanya dalam hati ‘Mahluk apa itu?!’. kulihat mahluk yang sedang mencekik leher Ibuku. Mata Ibu membelalak lebar. Mahluk bertubuh hitam dan besar itu sedang mencoba untuk membunuh Ibuku. Tubuhku beku, tidak dapat digerakkan. Makin tak dapat ku gerakkan lagi, ketika mahluk itu menoleh ke arahku. Aku melihat matanya! Mata berwarna merah darah yang melihat ke arahku seakan-akan ia akan membunuhku juga setelah ia membunuh Ibuku. Tapi, aku menepiskan rasa takutku kepada mahluk yang ada di depanku sekarang. Aku bertekad, yang aku takuti cuma Allah SWT. Bukan mahluk gaib yang sekarang ada di hadapanku ini. Aku berlari menerobos dan mendorong mahluk itu, tiba-tiba mahluk itu menghilang dengan sendirinya. Ketika mahluk itu menghilang, aku langsung marangkul Ibuku yang masih setengah pingsan.
“Ibu… Ibu… Ibu…!” Teriakku.
“Bu… sadar…” Desahku. Dengan terkejut, Ibu terbangun di pelukkanku.
Tapi, tanpa aba-aba Ibuku langsung melepaskan pelukanku dengan kasar. Dia berdiri, matanya masih terbelalak dan ia melangkah kesana kemari seperti orang kebingungan. Aku hanya duduk bersimpuh dan cuma melihat gelagat Ibuku. Pandangan Ibuku beralih kepadaku, kemarahan mulai terlihat di wajahnya.
“Kamu! Kenapa kamu di sini?!” Bentak Ibuku.
Aku diam.
“Kau tak seharusnya berada di sini!” Aku diam, sekali lagi.
“Keluar! Keluar! KELUAR!!!”

Akhirnya, setelah mendengar teriakan ibuku, aku berdiri dan beranjak meninggalkan tempat Ibuku bersemedi. Berjalan ke arah yang berlawanan dari ruangan besar itu di lantai atas. Menuju kamarku yang terletak tak jauh dari ruangan itu. Aku membuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya. Sesampainya di dalam aku sembarang melempar tas ranselku, kemudian menghempaskan badanku yang lelah di atas tempat tidur. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada Ibu dan juga aku. Hal ini sudah terjadi ke-24 kalinya. Dulu Ibu hampir terbunuh oleh mahluk gaib yang kepalanya buntung. Dan setelah aku menyelamatkannya, seperti tadi, dia membentak dan memarahiku untuk segera keluar dari ruangannya. Aku memejamkan mata, menjernihkan pkiranku dan mengistirahatkan tubuhku. Dalam beberapa saat aku masuk ke dalam alam bawah sadarku.

Pukul 03.45 WIB. Dini hari.
Harum embun pada dini hari, membuat mataku kembali terbuka. Suara Azan berkumandang dari Mesjid kecil yang berada tak jauh dari rumahku. Aku bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi. Mencuci wajahku dan menggosok gigi. Aku kembali berjalan keluar dari kamar mandi. Seluruh rumah gelap. Penerangan lampu rumahku tak terlalu terang saat itu. Hanya ada sebagian tempat yang diterangi oleh lampu. Aku menuju tempat ber-wudhu, membuka selang dan mancuran air suci pun keluar. Aku mengusapkan air suci itu ke lengan dan bagian alat gerak yang lainnya. Membersihkan diri dari kotoran yang tak terlihat. Lalu aku kembali ke kamarku dan mulai menghadap sang Maha Kuasa.

Aku berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Dikarenakan masih ada urusan penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Seperti biasa, aku memarkirkan mobilku di parkiran dan berjalan menyusuri koridor Universitas Hassanudin yang megah.

WHUUS…
Sekelebat angin kencang menerpa tubuhku. Aku hampir terjatuh oleh angin yang kencang itu. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa di kampus maupun di sekelilingku. Tapi ketika aku menoleh kembali.
“HAAH!!” Aku terkejut.
Sesosok perempuan berambut panjang tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia berdiri dengan wajah tertunduk. Tapi aku tidak merasa takut sama sekali. Aku malah mengajukan pertanyaan kepada perempuan yang ada di depan mataku ini.
“Permisi, kamu kenapa? Ada perlu apa denganku?” Tanyaku.
“To… to… tolong… a… ku…”
“Hah? Apa? Maaf saya tidak mendengar. Bisa kamu ulangi lagi?”
GREEP…
“TOLONG AKU!”
Tiba-tiba perempuan itu memegang kedua pundakku. Kemudian mendekatkan wajahnya sambil berkata.
“Tolong aku… tolong aku… tolong aku… TOLONG AKU…”
Mataku terbelalak. Melihat mata perempuan itu. Warna merah darah. Warna yang sama dengan mata mahluk hitam yang menyerang Ibuku kemarin. Perempuan itu terus mengatakan hal yang sama. Dia terus melihatku dengan mata merah itu. Mataku masih terbelalak, tubuhku beku tidak dapat digerakkan seperti waktu itu. Tiba-tiba banyak suara-suara minta tolong terdengar dari berbagai arah. Lalu…
BUUKK!!
Sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku mulai tidak jelas. Rasa sakit sudah tak tertahankan lagi.
GEDEBUK!!
Aku jatuh. Terbaring di lantai koridor kampus, mataku masih berkunang-kunang. Aku melihat perempuan itu masih menatapku. Tersenyum. Perempuan itu tersenyum lebar melihatku terbaring lemah. Pandanganku semakin pudar. Lalu yang ada hanyalah… gelap.

1 Tahun Kemudian…
Suara ramai orang-orang berdengung di telingaku. Aku yang sedang duduk di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman kampus, membuat pandangan semua orang mengarah kepadaku. Mereka terus memberikan tatapan ngeri karena aku berani duduk di bawah pohon beringin ini. Kata orang-orang yang ada di kampus, pohon beringin yang berposisi tepat di tengah halaman kampus terkenal angker. Tapi aku tidak merasa merinding sama sekali. Malah berbicara dengan orang-orang yang ada di sekitar pohon sungguh mengasyikkan. Walaupun bentuk mereka agak sedikit menakutkan.

Sejak kejadian satu tahun lalu, aku mendapatkan bakat dapat melihat orang-orang yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kejadian tragis yang membuatku koma selama 3 minggu. Kejadian yang terjadi di koridor kampus ini. Perempuan yang telah melakukan sesuatu kepadaku. Bahkan ketika aku koma, Ibu sama sekali tidak pernah menjenguk maupun menjagaku. Cuma paman dan bibiku saja yang senantiasa menjaga dan merawatku.

“BISA DIAM GAK, DEK?!” Suara seseorang membentak.
Aku menoleh ke arah suara itu, yang berada tak jauh dari hadapanku. Oh iya, aku baru ingat kalau Ospek penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan hari ini. Kulihat para Senior membentak-bentak para angkatan baru. Mereka disuruh baris-berbaris, scotjump, push up, sit up, dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan mental. Sampai-sampai ada salah satu Junior yang pingsan karena tidak kuat, ada juga yang menangis dan sebagainya. Sepertinya Ospek yang diadakan tahun ini sangat berat, dan aku yakin para Senior sangat senang menyiksa Juniornya. Tapi tanpa kusadari ada salah satu angkatan baru yang sangat aku salut kepadanya. Laki-laki muda berperawakan sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi… sebenarnya… ehm, tampan sedikit saja. Aku sangat salut kepada bocah itu, ia terus berusaha dan tekun sekali mengikuti perintah yang dikatakan oleh Seniornya. Walaupun kentara jelas di wajahnya bahwa ia sangat lelah, tetapi ia sangat pintar menyembunyikannya. Aku harus memperhatikannya dengan teliti terlebih dahulu baru aku tahu ternyata dia sangat lelah. Anak yang pantang menyerah. Ternyata masih ada orang yang seperti itu. batinku. Karena terus memperhatikan gerak-geriknya dalam mengikuti kegiatan Ospek, ternyata aku ketahuan. Tapi memangnya tidak boleh melihat kegiatan Ospek Juniorku. Ia menatapku ketika sedang istirahat. Aku langsung membuang muka, dan kembali membaca buku untuk bahan penjelasanku selanjutnya yang disuruh oleh Dosen Yuda.

Tak beberapa saat aku membaca buku, terdengar suara teriakan centil seorang perempuan. Aku menoleh, dan tak beberapa centimeter dari hadapanku segerombolan Senior yang perempuan sedang mengerumuni sesuatu. Aku yang masih mempunyai rasa penasaran ini, melirik apa yang sedang mereka kerumuni. Aku mencari celah di antara perempuan itu. Ketika aku menemukannya, kulihat laki-laki yang aku salut kepada kerja kerasnya. Ketika melihatnya aku langsung kembali membaca buku lagi. Ternyata bocah itu cepat terkenal. Batinku.

“Hai…”
Sebuah suara membuyarkan konsetrasiku ketika membaca buku. Aku menoleh, sesosok lelaki berdiri di hadapanku dengan tersenyum. Hhh… ternyata dia. Pikirku. Aku hanya menunjukkan ekspresi dingin dan memcoba kembali membaca bukuku lagi.
“Anu… permisi. Kamu…” Tanyanya.
“Bisakah kau bicara lebih sopan sedikit. Aku ini Seniormu,”
“Aduh maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya cuma mau bertanya.”
Aku menatap bingung pada Junior yang tak kutahu namanya ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memperbolehkan dia bertanya.
“Boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Ehm… kenapa kakak duduk sendirian di sini? Di bawah pohon beringin lagi. Apa tidak apa-apa? Orang-orang ngeliatin kakak dari tadi, terutama teman-temanku.” Katanya panjang lebar.
“Itu namanya bukan bertanya. Terus kenapa? Memangnya salah kalau aku duduk di sini? Aku tidak mengusik pikiran mereka, kan?” Kataku, dingin.
“Bukan begitu…”
“AKHMAD…” Panggil seseorang.
Laki-laki yang ada di hadapanku menoleh ke asal suara itu.
“Maaf ya, kak. Teman saya memanggil. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya.” Katanya, sambil tersenyum lebar.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku merasa senyum kecil terlukis di bibirku. Cuma dia satu-satunya orang yang berani berbicara denganku. Selain pantang menyerah, dia juga sangat baik hati dan pandai bergaul.

Cerpen Karangan: Meisy Pratiwi
Blog: agehanostory.blogspot.com
Facebook: haruna suzuno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar