Hidup…
Dalam kehidupan ini tidak ada yang pernah sempurna, selalu diselingi
dengan masalah-masalah yang membuat semua orang hampir gila. Manusia
memiliki sifat yang berbeda-beda, dan dari situlah kita dapat mengetahui
sifat manusia yang baik dan yang buruk. Kehidupan yang aku miliki saat
ini mungkin sudah pernah dialami oleh orang lain selain
aku. Kehidupan bernuansa gelap dan kelam. Kehidupan yang mungkin setiap
orang tidak ingin alami. Karena kehidupan yang aku jalani penuh dengan
kesunyian dan ketidakadilan yang diberikan oleh kedua orangtuaku.
Kehidupan kelam yang sudah mereka berikan kepadaku sejak aku berumur 13
tahun, dan saat itu aku masih duduk di bangku SMP.
Aku
menjalani hidup diiringi dengan cercaan dan hinaan dari orang-orang yang
ada di sekolahku. Tapi dengan cercaan dan hinaan itulah aku dapat
menjalani hidup dengan kuat dan tegar, mengingat Ayah dan Ibuku bercerai
karena kesalahan yang mereka perbuat sendiri. Ya! Orangtuaku bercerai
karena perbuatan mereka sendiri. Aku terlahir sebagai seorang anak dari
pemilik perusahaan yang jaya dan besar. Tetapi bukan berarti keadaan
tersebut membuatku bahagia. Aku tumbuh tanpa kasih sayang kedua
orangtuaku. Ayahku selingkuh dengan perempuan lain sedangkan Ibuku
menganut ilmu gelap yang aku tidak tahu untuk apa. Tapi hal itu tidak
membuatku mundur untuk melanjutkan pendidikan, selama ada orang yang
masih menanggungku. Dan ternyata dengan bersungguh-sungguh sekolah, aku
mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku terkenal sebagai murid yang
berprestasi, walaupun cercaan dan hinaan masih terus terdengar di
telingaku. Dan pada saat aku mencicipi bangku kuliah, di situlah aku
menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh seseorang baik hati dan
dermawan. Seseorang yang mungkin membuat orang-orang terkejut jika
mengetahui asal-usulnya.
Semarang, 10 Mei 2009
Pagi itu,
seperti pagi-pagi biasa yang telah aku jalani. Bersiap-siap untuk pergi
kuliah. Mandi dan berpakaian, memasukkan buku-buku penting untuk bahan
kuliahku. Aku telah bersiap-siap dan menuruni tangga rumahku. Menuju
dapur dan mencemot sepotong roti berisi selai strawberry yang telah
kusiapkan. Lalu aku mulai naik kembali ke lantai atas, menuju sebuah
ruangan yang sering digunakan Ibuku untuk bersemedi. Ya! Hak asuh anak
jatuh ke tangan Ibuku dengan tipu daya yang ia perbuat, sehingga
perasaan Hakim terlena oleh tipu daya tersebut.
Kubuka pintu
ruangan besar itu, di dalam aku melihat Ibuku duduk bersila dengan mata
terpejam. Seluruh ruangan sangat gelap. Sesajen ada di mana-mana, bau
kemenyan mengharumi seluruh ruangan dengan baunya yang sangat menyengat.
Aku sudah terbiasa dengan bau ini sejak kecil. Aku berjalan mendekati
Ibu, terlihat wajah tua Ibuku yang sudah mulai mengeriput.
“Bu, Ai pergi dulu. Assallamualaikum.”
Karena tidak ada respon, aku beranjak dari ruangan itu.
“Aisyah! Belajarlah untuk mengetok terlebih dahulu!” Bentak Ibuku.
Aku tidak menoleh ke arah Ibuku, aku hanya berdiri membelakanginya di
ambang pintu. Aku sudah terlalu sering dimarahi oleh Ibuku. Bahkan jika
Ibu kesal, dia tidak segan-segan mengguna-gunaku dengan ilmu hitam yang
ia miliki.
“Baik, Bu. Assallammu…” Belum habis aku bicara, Ibu sudah memotong.
“Jangan sekali-kali kamu ucapkan salam seperti itu! Kamu mau membuat Ibu lekas mati?!” Bentak Ibuku, lagi.
Rasa kesal dan marah muncul dalam hatiku. Kelakuan Ibu yang sudah jauh
dari nalar, membuat diriku hampir dibisiki oleh setan. Tapi aku
langsung menutup pintu ruangan sesat yang sering di gunakan Ibuku itu.
Aku berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Suzuki Fortune.
Beranjak pergi meninggalkan rumahku.
Universitas Hassanudin…
Aku memarkirkan mobilku di parkiran khusus untuk para mahasiswa.
Orang-orang sudah banyak berlalu lalang di sekitar kampus. Ketika aku
keluar dari mobil, orang-orang di sekitarku menatap ngeri terhadapku.
Ya! Kehidupan yang diiringin dengan cercaan dan hinaan masih ada sampai
aku mencicipi bangku kuliah. Seperti yang aku katakan, cercaan dan
hinaan itu membuatku menjalani kehidupan dengan tegar dan kuat. Aku
berjalan melewati orang-orang disertai dengan tatapan ngeri dari mereka.
Mungkin karena raut wajahku ini dan penampilanku. Memang kulitku yang
putih pucat dan rambutku yang panjang serta poni yang sudah mulai
panjang tapi tetap kusisir ke arah depan sehingga memunculkan kesan
seperti kuntilanak hidup yang sedang berjalan di hadapan mereka. Mungkin
karena itulah mereka memberiku tatapan ngeri.
“Eh… eh. Lihat,
itu Nur Aisyah. Hii… ngeri, ya? Kenapa sih, dia harus kuliah di sini?
Seharusnya dia berkumpul dengan sebangsa setan.”
“Hush! Jangan
bicara seenaknya, tidak baik. Kudengar dia itu anak seorang perusahaan
besar. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut dan keluarganya pun
berantakan.”
“Oh… ternyata begitu, tapi seharusnya dia tidak perlu berkelakuan seperti itu. Tapi… mungkin karena kejadian itu dia berubah.”
“Mungkin.”
Aku mendengarnya. Tapi tanpa kusadari, masih ada orang yang mengerti
denganku. Walaupun aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sangat
bersyukur.
Seperti biasa, kuliah di jurusan Ekonomi Marketing
selalu banyak defenisi-defenisi dan hitungan. Aku yang sedang duduk
manis memperhatikan Dosen Yuda yang tengah menjelaskan ‘Konsep Fisik
Fundamental’. Kulihat di sekelilingku, wajah bosan terpampang dari
sebagian orang-orang yang ada di dalam kelas ini. Dan aku heran.
“Hhh…” Kuhembuskan nafas berat.
Kenapa semua perempuan yang ada di kelas ini memberikan tatapan
menawan kepada Dosen Yuda. Memang, Dosen Yuda adalah Dosen termuda yang
ada di Universitas ini. Dan ia memiliki wajah yang dapat membuat setiap
perempuan ingin menjadi pacarnya.
“Ya, Aisyah. Apakah kamu dapat menjelaskan tentang konsep yang satu ini?” Tanya Dosen Yuda.
Aku mulai berdiri, “Iya. Saya dapat menjelaskannya.”
Aku berjalan ke muka kelas, raut wajah semua perempuan yang tadinya sedang menikmati pesona Dosen Yuda berubah menjadi gersang.
“Haah… kenapa si kuntilanak ini yang menjelaskan?” Rengek salah satu perempuan.
“Iya. Pergi sana! Hush… hush…” Hina perempuan yang lain.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Aisyah, kamu dapat
menggantikannya di depan sini. Bagaimana?” tanya Dosen Yuda sambil
tersenyum.
“Errm… tidak usah, deh. Kamu saja yang menjelaskan, Aisyah.” Kata perempuan itu.
Aku hanya diam dan cuma mendengarkan hinaan yang mereka berikan. Tidak
ada rasa kesal. Tapi aku malah tertawa geli dalam hati, melihat
ekspresi perempuan tadi ketika dipersilahkan Dosen Yuda untuk
menjelaskan.
“Ya, silahkan Aisyah.” Kata Dosen Yuda.
“Baiklah dalam konsep ini…”
Gelap…
Brrmm…
Suara mesin mobilku berderum keras memasuki halaman rumahku yang cukup
besar. Ya! Rumah besar yang dulu kami huni kembali lagi ke tangan Ibuku
setelah sekian lama disita. Aku tidak tahu, dengan cara apa Ibuku dapat
merebut rumah ini kembali. Tapi aku tidak ingin menjadikan hal ini
sebagai beban, lebih baik kusingkirkan terlebih dahulu. Aku berjalan
menuju pintu besar rumahku, kubuka pintu bergaya mewah itu.
“Assallamualaikum…”
Tidak ada sahutan. Suara Ibuku tidak terdengar. Mungkin masih bersemedi. Pikirku.
Ketika masuk ke dalam rumah, aku terus merasakan suasana yang berbeda
dari sebelumnya. Suasana berbeda dari rumahku, susasana aneh yang
berbeda ketika aku meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus. Keadaan
rumah sunyi, terlalu sunyi. Rasa panik dan khawatir mulai muncul di
hatiku.
“Ibu…” Panggilku pada Ibu.
Tidak ada sahutan.
“Ibu…!” Panggilku lagi. Kali ini sedikit berteriak.
Masih tidak ada sahutan.
Refleks. Aku langsung berlari ke lantai atas, menuju pintu besar yang
tak jauh dariku saat itu. Kuraih ganggang pintu. Dan cepat kubuka pintu
besar itu. Terbuka!
“A… a…”
Mahluk apa itu?! Batinku.
Aku
terkejut, tubuhku tak dapat kugerakkan. Berkali-kali aku bertanya dalam
hati ‘Mahluk apa itu?!’. kulihat mahluk yang sedang mencekik leher
Ibuku. Mata Ibu membelalak lebar. Mahluk bertubuh hitam dan besar itu
sedang mencoba untuk membunuh Ibuku. Tubuhku beku, tidak dapat
digerakkan. Makin tak dapat ku gerakkan lagi, ketika mahluk itu menoleh
ke arahku. Aku melihat matanya! Mata berwarna merah darah yang melihat
ke arahku seakan-akan ia akan membunuhku juga setelah ia membunuh Ibuku.
Tapi, aku menepiskan rasa takutku kepada mahluk yang ada di depanku
sekarang. Aku bertekad, yang aku takuti cuma Allah SWT. Bukan mahluk
gaib yang sekarang ada di hadapanku ini. Aku berlari menerobos dan
mendorong mahluk itu, tiba-tiba mahluk itu menghilang dengan sendirinya.
Ketika mahluk itu menghilang, aku langsung marangkul Ibuku yang masih
setengah pingsan.
“Ibu… Ibu… Ibu…!” Teriakku.
“Bu… sadar…” Desahku. Dengan terkejut, Ibu terbangun di pelukkanku.
Tapi, tanpa aba-aba Ibuku langsung melepaskan pelukanku dengan kasar.
Dia berdiri, matanya masih terbelalak dan ia melangkah kesana kemari
seperti orang kebingungan. Aku hanya duduk bersimpuh dan cuma melihat
gelagat Ibuku. Pandangan Ibuku beralih kepadaku, kemarahan mulai
terlihat di wajahnya.
“Kamu! Kenapa kamu di sini?!” Bentak Ibuku.
Aku diam.
“Kau tak seharusnya berada di sini!” Aku diam, sekali lagi.
“Keluar! Keluar! KELUAR!!!”
Akhirnya, setelah mendengar teriakan ibuku, aku berdiri dan beranjak
meninggalkan tempat Ibuku bersemedi. Berjalan ke arah yang berlawanan
dari ruangan besar itu di lantai atas. Menuju kamarku yang terletak tak
jauh dari ruangan itu. Aku membuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya.
Sesampainya di dalam aku sembarang melempar tas ranselku, kemudian
menghempaskan badanku yang lelah di atas tempat tidur. Mengingat
kejadian yang baru saja terjadi pada Ibu dan juga aku. Hal ini sudah
terjadi ke-24 kalinya. Dulu Ibu hampir terbunuh oleh mahluk gaib yang
kepalanya buntung. Dan setelah aku menyelamatkannya, seperti tadi, dia
membentak dan memarahiku untuk segera keluar dari ruangannya. Aku
memejamkan mata, menjernihkan pkiranku dan mengistirahatkan tubuhku.
Dalam beberapa saat aku masuk ke dalam alam bawah sadarku.
Pukul 03.45 WIB. Dini hari.
Harum embun pada dini hari, membuat mataku kembali terbuka. Suara Azan
berkumandang dari Mesjid kecil yang berada tak jauh dari rumahku. Aku
bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi. Mencuci wajahku dan
menggosok gigi. Aku kembali berjalan keluar dari kamar mandi. Seluruh
rumah gelap. Penerangan lampu rumahku tak terlalu terang saat itu. Hanya
ada sebagian tempat yang diterangi oleh lampu. Aku menuju tempat
ber-wudhu, membuka selang dan mancuran air suci pun keluar. Aku
mengusapkan air suci itu ke lengan dan bagian alat gerak yang lainnya.
Membersihkan diri dari kotoran yang tak terlihat. Lalu aku kembali ke
kamarku dan mulai menghadap sang Maha Kuasa.
Aku berangkat
kuliah pagi-pagi sekali. Dikarenakan masih ada urusan penting yang harus
aku selesaikan terlebih dahulu. Seperti biasa, aku memarkirkan mobilku
di parkiran dan berjalan menyusuri koridor Universitas Hassanudin yang
megah.
WHUUS…
Sekelebat angin kencang menerpa tubuhku. Aku
hampir terjatuh oleh angin yang kencang itu. Aku menoleh ke belakang,
tidak ada siapa-siapa di kampus maupun di sekelilingku. Tapi ketika aku
menoleh kembali.
“HAAH!!” Aku terkejut.
Sesosok perempuan
berambut panjang tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia berdiri dengan wajah
tertunduk. Tapi aku tidak merasa takut sama sekali. Aku malah
mengajukan pertanyaan kepada perempuan yang ada di depan mataku ini.
“Permisi, kamu kenapa? Ada perlu apa denganku?” Tanyaku.
“To… to… tolong… a… ku…”
“Hah? Apa? Maaf saya tidak mendengar. Bisa kamu ulangi lagi?”
GREEP…
“TOLONG AKU!”
Tiba-tiba perempuan itu memegang kedua pundakku. Kemudian mendekatkan wajahnya sambil berkata.
“Tolong aku… tolong aku… tolong aku… TOLONG AKU…”
Mataku terbelalak. Melihat mata perempuan itu. Warna merah darah.
Warna yang sama dengan mata mahluk hitam yang menyerang Ibuku kemarin.
Perempuan itu terus mengatakan hal yang sama. Dia terus melihatku dengan
mata merah itu. Mataku masih terbelalak, tubuhku beku tidak dapat
digerakkan seperti waktu itu. Tiba-tiba banyak suara-suara minta tolong
terdengar dari berbagai arah. Lalu…
BUUKK!!
Sesuatu menghantam
kepalaku dengan keras. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku mulai tidak
jelas. Rasa sakit sudah tak tertahankan lagi.
GEDEBUK!!
Aku
jatuh. Terbaring di lantai koridor kampus, mataku masih
berkunang-kunang. Aku melihat perempuan itu masih menatapku. Tersenyum.
Perempuan itu tersenyum lebar melihatku terbaring lemah. Pandanganku
semakin pudar. Lalu yang ada hanyalah… gelap.
1 Tahun Kemudian…
Suara ramai orang-orang berdengung di telingaku. Aku yang sedang duduk
di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman kampus, membuat
pandangan semua orang mengarah kepadaku. Mereka terus memberikan tatapan
ngeri karena aku berani duduk di bawah pohon beringin ini. Kata
orang-orang yang ada di kampus, pohon beringin yang berposisi tepat di
tengah halaman kampus terkenal angker. Tapi aku tidak merasa merinding
sama sekali. Malah berbicara dengan orang-orang yang ada di sekitar
pohon sungguh mengasyikkan. Walaupun bentuk mereka agak sedikit
menakutkan.
Sejak kejadian satu tahun lalu, aku mendapatkan
bakat dapat melihat orang-orang yang tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang. Kejadian tragis yang membuatku koma selama 3 minggu. Kejadian
yang terjadi di koridor kampus ini. Perempuan yang telah melakukan
sesuatu kepadaku. Bahkan ketika aku koma, Ibu sama sekali tidak pernah
menjenguk maupun menjagaku. Cuma paman dan bibiku saja yang senantiasa
menjaga dan merawatku.
“BISA DIAM GAK, DEK?!” Suara seseorang membentak.
Aku menoleh ke arah suara itu, yang berada tak jauh dari hadapanku. Oh
iya, aku baru ingat kalau Ospek penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan
hari ini. Kulihat para Senior membentak-bentak para angkatan baru.
Mereka disuruh baris-berbaris, scotjump, push up, sit up, dan hal-hal
yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan mental. Sampai-sampai ada salah
satu Junior yang pingsan karena tidak kuat, ada juga yang menangis dan
sebagainya. Sepertinya Ospek yang diadakan tahun ini sangat berat, dan
aku yakin para Senior sangat senang menyiksa Juniornya. Tapi tanpa
kusadari ada salah satu angkatan baru yang sangat aku salut kepadanya.
Laki-laki muda berperawakan sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi…
sebenarnya… ehm, tampan sedikit saja. Aku sangat salut kepada bocah itu,
ia terus berusaha dan tekun sekali mengikuti perintah yang dikatakan
oleh Seniornya. Walaupun kentara jelas di wajahnya bahwa ia sangat
lelah, tetapi ia sangat pintar menyembunyikannya. Aku harus
memperhatikannya dengan teliti terlebih dahulu baru aku tahu ternyata
dia sangat lelah. Anak yang pantang menyerah. Ternyata masih ada orang
yang seperti itu. batinku. Karena terus memperhatikan gerak-geriknya
dalam mengikuti kegiatan Ospek, ternyata aku ketahuan. Tapi memangnya
tidak boleh melihat kegiatan Ospek Juniorku. Ia menatapku ketika sedang
istirahat. Aku langsung membuang muka, dan kembali membaca buku untuk
bahan penjelasanku selanjutnya yang disuruh oleh Dosen Yuda.
Tak beberapa saat aku membaca buku, terdengar suara teriakan centil
seorang perempuan. Aku menoleh, dan tak beberapa centimeter dari
hadapanku segerombolan Senior yang perempuan sedang mengerumuni sesuatu.
Aku yang masih mempunyai rasa penasaran ini, melirik apa yang sedang
mereka kerumuni. Aku mencari celah di antara perempuan itu. Ketika aku
menemukannya, kulihat laki-laki yang aku salut kepada kerja kerasnya.
Ketika melihatnya aku langsung kembali membaca buku lagi. Ternyata bocah
itu cepat terkenal. Batinku.
“Hai…”
Sebuah suara
membuyarkan konsetrasiku ketika membaca buku. Aku menoleh, sesosok
lelaki berdiri di hadapanku dengan tersenyum. Hhh… ternyata dia.
Pikirku. Aku hanya menunjukkan ekspresi dingin dan memcoba kembali
membaca bukuku lagi.
“Anu… permisi. Kamu…” Tanyanya.
“Bisakah kau bicara lebih sopan sedikit. Aku ini Seniormu,”
“Aduh maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya cuma mau bertanya.”
Aku menatap bingung pada Junior yang tak kutahu namanya ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memperbolehkan dia bertanya.
“Boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Ehm… kenapa kakak duduk sendirian di sini? Di bawah pohon beringin
lagi. Apa tidak apa-apa? Orang-orang ngeliatin kakak dari tadi, terutama
teman-temanku.” Katanya panjang lebar.
“Itu namanya bukan
bertanya. Terus kenapa? Memangnya salah kalau aku duduk di sini? Aku
tidak mengusik pikiran mereka, kan?” Kataku, dingin.
“Bukan begitu…”
“AKHMAD…” Panggil seseorang.
Laki-laki yang ada di hadapanku menoleh ke asal suara itu.
“Maaf ya, kak. Teman saya memanggil. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya.” Katanya, sambil tersenyum lebar.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku merasa senyum kecil terlukis di
bibirku. Cuma dia satu-satunya orang yang berani berbicara denganku.
Selain pantang menyerah, dia juga sangat baik hati dan pandai bergaul.
Cerpen Karangan: Meisy Pratiwi
Blog: agehanostory.blogspot.com
Facebook: haruna suzuno
Sabtu, 03 Mei 2014
Hidupku Bahagia Bersama Lelaki Berbeda Dunia (Part 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar